Tuesday, 31 March 2015

Ungkapan Cinta Dus Durian terhadap Gus Dur

GUS DURIAN
( Ungkapan Cinta terhadap Gus Dur)

PENGANTAR
Seseorang dicintai oleh berbagai lapisan masyarakat adalah sebuah prestasi langka dan bukan sesuatu yang mudah didapatkan oleh setiap orang walaupun orang tersebut telah tiada . Kecintaan tersebut muncul sebagai wujud penghargaan terhadap sang tokoh atas jasa besar yang telah dilakukanya baik dalam bentuk tindakan nyata maupun pemikiran pemikiran yang telah menginspirasi banyak orang untuk melakukan segala bentuk perubahan.
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah: ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H. Abdurahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-Sunnah wal Jama’ah menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial. Sebagai seorang ilmuan yang genius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memberdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam.
Pasca wafatnya beliau pada ahir tahun 2009 yang lalu banyak orang terutama para pencinta dan pengagum Gus Dur yang kemudian disebut sebagai Gus Durianmerasa terpanggil untuk melestarikan, melanjutkan cita cita dan perjuangannya. Bagi mereka memahami Gus Dur tidak dapat dilihat dari satu sudut prespektif karena Gus Dur adalah Multi Prespektif atau Multi Tafsir.
Hal yang paling penting untuk bisa memahami Gus Dur menurut Greg Berton sebagaimana dikutip Ali Usman adalah selalu mencari apa yang tersirat dari yang tersurat tidak bijak untuk meremehkan Gus Dur karena pada dirinya terdapat sesuatu yang lebih daripada apa yang kasatmata. Tidak bijak pula memahami apa yang di ucapkanya secara harfiah, seringkali apa yang diucapkanya bukanlah apa yang diketahuinya namun merupakan apa yang diinginkanya sebagai sesuatu yang benar.(1)
BIOGRAFI GUS DUR
1.      Latar Belakang
Abdurahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dan dengan nama lengkap Abdurahman al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya dan pribadinya, banyak hal tidaklah seperti apa yang terlihat. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan Sya'ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. Sebenarnya tanggal 4 Sya'ban 1940 adalah tanggal 7 September.
Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim, mantan menteri Agama tahun 1949. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jami'yah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi masa Islam terbesar di Indonesia. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Kakek dari ibunya adalah K.H. Bisri Syamsuri juga merupakan tokoh NU setelah K.H. Abdul Wahab.
Secara geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di kalangan NU, karena kedudukannya sebagai ulama karismatik.
Pada masa kecilya, Abdurahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya daripada tinggal bersama ayahnya. Melalui kakeknya ia belajar membaca al-qur’an di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka dari sejak kecil Abdurahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting tersebut.
2.      Pendidikan
Mengenai riwayat pendidikannya, Abdurahman Wahid mulai menuntut ilmu :
a. SD Jakarta 1947-1953
b. SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957
c.Pondok pesantren Rapyak, Yogyakarta, 1954-1957
d.Pondok pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah, 1957-1959
e.Pondok pesantren tambak beras, sambil mengajar di Madrasah Mualimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.
f.Belajar di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement og Higer Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir, 1964-1969.
g.Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1972.
h.Menjadi dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang., 1972-1974.
i.Sekretaris pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang 1974-1979.
j.Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, 1979 sampai sekarang.
k.Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar Jombang, 1996 sampai sekarang.
l.Anggota Dewan Universitas Saddam Husain Bagdad. [2]
Abdurahman Wahid adalah seorang tokoh besar bertarap Internasional yang banyak memiliki kemampuan. Padanya terdapat bidang ilmu Islam bertarap ulama besar. Kiyai, bahkan wali juga terdapat keahlian dalambidang ilmu pengetahuan umum dan kombinasi dari berbagai kemampuan tersebut menyebabkan Ia banyak memiliki kesempatan untuk mengekpresikannya dalam berbagai aktifitas.[3]
Guru Abdurahman Wahid antara lain; Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Kiyai Khudari, Rufiah, Iskandar, K.H. Fatah, K.H. Masduki, Bisri Samsuri, Kiyai Fatah.
  KEUTAMAAN DAN DAYA TARIK GUS DUR
                        Gus Dur mempunyai keutamaan dan daya tarik tersendiri yang menyebabkan dicintai banyak orang dan banyak yang kehilangan ketika ditinggalkan. Keutamaan dan daya tarik tersebut dapat dicermati melalui warisan pemikiran dan perilakunya.
            Pertama dalam bidang politik kebangsaan Gus Dur memberikan tauladan politik yang baik dalam bentuk oposisi demokratik yang dipegang sebagai prinsip hidupnya baik ketika menjadi ketua umum PBNU, Ketua Dewan Syuro PKB, Presiden atau pasca lengser dari kursi kepresidenan. Dalam oposisi Gus Dur mengajarkan dalam memperjuangkan prinsip harus dilakukan secara teguh dan militan. Hal 308
            Oposisi demokratik kerakyatan yang dibuktikannya adalah sikap kritis terhadap rezim Suharto berkaitan dengan kasus Kedungombo, menjadi ketua Fordem , melawan rekayasa rezim Suharto dalam Muktamar Cipasung, Menolak  pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden tahun 1992 dan lain sebagainya namun dengan diiringi oleh sikap politik yang penuh kelembutan ,simbolis dan taktis.
            Ditangan Gus Dur pada saat menjadi Presiden ,Istana Negara yang awalnya terkesan sakral bagi kehadiran rakyat biasa berubah menjadi tempat keluh kesah rakyat dan menjadi menjadi tempat ajang silaturrahmi langsung antara rakyat dengan Presiden. Ini merupakan bukti bahwa Gus Dur adalah sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Kedua bidang keagamaan Gus Dur memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia  tentang “Pribumisasi Islam”. Hal 311Diantara orang-orang yang tertarik dengannya merupakan generasi neo-modernis Islam, termasuk tokoh-tokoh lain seperti Nurcholis Madjid, Jalaludin Rahmat, Dawam Raharjo dan Amien Rais yang menganjurkan Islamisasi atau re-Islamisasi bangsa Indonesia, Abdurahman Wahid menekankan Indonesia, pribumisasi atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini, ia ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat. ”Sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya yang permanent. Di sisi lain budaya adalah ciptaan manusia dan oleh karena itu berkembang sesuai dengan perubahan sosial, tetapi hal ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.”[4]
Menurut Gus Dur pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hokum-hukum agama, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi ushul al-fiqh dan qowaid al-fiqh.
Dalam proses ini Gus Dur pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keIslamannya. Al-qur’an harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pemahaman bukan menggantika Al-Qur’an itu sendiri.
Abdurahman Wahid benar-benar sebuah teka-teki, ia bukan tradisionalis konserfatif, bukan pula modernis islam. Dia seorang pemikir liberal, seorang pemimpin organiasasi islam berbasis tradisi terbesar. Sebagai seorang cendekiawan inovatif yang memeragakan profesional biasa atau intelektual, dia memimpin suatu organisasi ulama (NU). Gus dur adalah guru bangsa ditengah arus perubahan dari mas rezim Suharto hingga masa reformasi.
RESPON MASYARAKAT
Diantara gagasan yang menjadi kotrofersi adalah ketika Gus Dur mengatakan Assalamu’alaikum seperti Ahlan Wasahlan atau Sobahul Khoir artinya bisa diganti dengan “selamat pagi” atau “apa kabar”. Gagasan ini membuat geger umat, termasuk kalangan NU sendiri, wakil ketua PBNU Syaiful Madjad mengakui bahwa ucapan Gus Dur tentang masalah tersebut sempat membuat gelisah warga NU, dan sejumlah kiyai sepuh NU.
Golongan NU yang tidak sepakat dengan Gus Dur lebih banyak sampai akhirnya kurang lebih dari 200 kiyai berkumpul di Darul Tauhid untuk mengadili Gus Dur.[5].Tidak kalah kontrovensinya  ketika mencabut Tap MPRS No. XXXV tahun 1966 pada saat menjadi Presiden yang menuai banyak protes.
CORAK PEMBAHARUAN GUSDUR
Sebagai ulama, budayawan dan pemikir, ia banyak mengeluarkan gagasan-gagasan diantaranya membentuk kelompok warung pemikir yang bertujuan untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam NU, mendirikan kelompok Forum demokrasi pada tahun 1991.[6]
Gus Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik pesantren sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas. Dengan adanya tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampir teori atau tanpa visi, yang sewaktu-waktu bisa terjerumus pada fragmatisme politik.
Jika dilihat dari segi cultural Gus Dur melintasi tiga cultural :
  1. Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal.
  2. Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras.
  3. Lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler.[7]
Pilar pemikiran Abdurahman Wahid yaitu :
a)Keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substantif ditafsirkan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern.
b)Keyakinannya bahwa dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara.
c)Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang inklusif.
Legalisme islam adalah produk masa lalu, suatu realitas sejarah yang dibolehkan yang kemudian menjadi agenda reformasi Islam kontemporer. Islam historis menyibukkan gerakan atau tradisi dari dinamisme ke formalisme legal. Karena islam menjadi dilembagakan terutama melalui hukum. Abdurahman Wahid yakin bahwa islam bermula sebagai suatu reformasi dinamis yang mengangungkan status manusia sebgai kholifah Allah di muka bumi yang bertanggungjawab untuk menyaksikan menyebarkan dan menerapkan cara hidup yang dibenarkan Tuhan.[8]
Dalam buku bunga rampai pesantren terdapat 12 artikel yang secara umum bertemakan pesantren. Di dalamnya mennujukkan sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri dasarnya mempunyai potensi yang lues untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibilitasnya pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi dalam seting sosial budaya bahkan politik dan ideologi negara.
Gus Dur berpendapat perlunya agama diterjemahkan ke dalam budaya setempat. Sesuai dengan tradisi dan lingkungan NU yang dekat dengan budaya setempat. Pandangan Gus Dur menekankan korelasi antara pemahaman agama dan realitas sosial budaya. Dengan kata lain, dalam pengembangan pemahaman agama, aspek kontekstual harus ikut dipertimbangkan. Pandangan ini sejalan dengan sikap para kiai tradisional di Jawa, yang selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa interaksi antara agama dan budaya setempat tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian, Gus Dur mengingatkan bahwa penerjemhan agama ke dalam budaya setempat harus dikontrol supaya ciri khas Islam tidak hilang. Hal itu berarti ”Jawanisasi Islam” ataupun ”Islamisasi Jawa”.
PENGAGUM GUS DUR
Ketika Gus Dur telah wafat masyarakat manyadari betapa penting kehadiranya, mereka merindukan suara lantang  advokasi yang berkaitan dengan kesenjangan sosial dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam kondisi seperti inilah muncul individu ataupun komunitas tertentu yang hendak melanjutkan pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Komunitas ini kemudian menamakan dirinya sebagai Gus Durian , generasi penerus Gus Dur namun perlu disadari pula  bahwa Gus Dur bukan hanya milik keluarga , warga NU saja tapi Gus Dur adalah milik masyarakat Indonesia dan dunia Internasional.
Gus Durian tidak bermaksud mengkultuskan terhadap ketokohan Gus Dur namun menjadikan Gus Dur sebagai ”Objek dan Subjek” sebagai objek berarti mengkaji pemikiran pemikaran Gus Dur diberbagai Bidang perlu  dengan sungguh sungguh untuk direalisasikan sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.Sebagai subjek berarti menjadikan Pemikiran Gus Dur sebagai sumber Inspirasi untuk terus dilanjutkan dalam melakukan aksi aksi sosoial kerakyatan. Gus Durian bukanlah sebuah ideologi seperti Marxisme atau Leninisme.
Komunitas Gus Durian telah terbentuk di beberapa kota diantaranyaSurabaya, Jakarta ,Jogja dan Jember  dengan latar belakang dan kegiatan yang beraneka ragam  maupun komunitas Gus Durian melalui jejaring sosial. Fenomena demikian menunjukan bahwa masyarakat mempunyai banyak perhatian terhadap Gus Dur dengan kelebihan – kelebihanya seiring dengan kelemahan yang dimilikinya sebagai manusia bias

KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikiran ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual.
Menjadikan Gusdur sebagai inspirasi bagi semua elemen masyaratkat dengan melanjutkan apa yang telah diperjuangkan dan dilakukannya merupakan sesuatu yang tidak salah terutama bagi komunitas Gus Durian sebagai salah satu penggagum Gus Dur, maka Jargon “Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita meneruskan” harus dibuktikan dan direalisasikan.
Komunitas Gus Durian yang telah tersebar diberbagai kota besar di Indonesia diharapkan mampu meneruskan dan mengembangkan pemikiran pemikaran Gus Dur sebagai langkah nyata mencari solusi probelamatika yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, agar tetap eksis sebagai salah satu bangsa yang besar didunia.






DAFTAR PUSTAKA
Bisri Mustafa, Beyond The Simbolic, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 1
Nata Abudin, Tokoh-tokoh Pembauran Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. 3
Jhon Esposito. L-Jhon Vall, O, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Cet. 1
Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, Cet. 1
Muslim Romdono, 72 Tokoh Muslim Indonesia, Jakarta: Restu Ilahi, 2005
Dedy Malik Jamaludin – Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Cet. 1


[2] K.H. Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1 h. 23-24
[3] Prof. Dr. H. Abudinata, M.A. Opcit, h. 334
[4] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)h. 261-262
[5] E. Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, (Bandung: Pustaka Hidayat, 2000) cet. 1 h. 55
[6] Romdono Muslim, S.Ag, Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Ilahi, 2005) h. 32
[7]K.H. Mustafa Bisri, Opcit, h. 36
[8] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit, h. 234-235


ABDURRAHMAN WAHID, DAN KEUNGGULAN GAGASANMODERNISASINYA

ABDURRAHMAN WAHID, DAN KEUNGGULAN GAGASANMODERNISASINYA
.Pendahuluan
Studi tentang pemikiran Abduurahman Wahid yang lebih dikenal dengansebutan “Gus Dur” merupakan pintu gerbang bagi ”arus balik” penelitian Islam,khususnya Islam yang sering dikategorikan sebagai tradisionalis, dari paradigmamodern mindedness (pengagungan terhadap modernitas) kepada preketieuwmindset riset yang lebih ”menghormati tradisi”. Sejak awal 1950 hingga dekade1970-an, penelitian terhadap Islam Indonesia mengalami bias modernisasi. Adadua agen di sana. Pertama, Muslim modernis yang memang sejak dekade 1930-antelah berseteru dengan Muslim tradisional, sehingga lahirlah NU yang meskipun bukan reaksi atas puritanisme, namun telah lama menyimpan pergulatan panjangdengan komunitas Muslim pengikut Syekh Abduh, semisal SI, Muhammadiyah,al-Irsyad, dan Persis. Puncak seteru tersebut terjadi ketika NU keluar dariMasyumi dan berdiri sebagai partai sendiri pada 1952. Dari sinilah, kajian tentang(politik) NU berjalin kelindan dengan sinisme Masyumi, karena NU dianggapmengkhianati perjuangan Islam melalui koalisi dengan pihak nasionalis.Membicarakan pemikiran Abdurrahman Wahid, tidak bisa terlepas darikenyataan bahwa Ia berada pada posisi
beyond the symbols
1
. Berbagai macamsimbol yang baca ini goblog peran melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Abdurrahman Wahid sendiri terhadap realitas sosial yang multidimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut tidak bisa bersifat monolitik.Secara psikologis, Abdurrahman Wahid besar diantara “tiga dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis,feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yangterbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular 
2
.Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik  pragmatisme pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya, sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang





 bisa saling berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuatAbdurrahman Wahid tak bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah mengusulkan diperbolehkannya lagi ajarankomunisme berkembang, padahal sebagai presiden apalagi muslim, ia seharusnyatetap mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk kaum muslim dan bersifattraumatik dalam rekaman sejarah orang Indonesia, semuanya terjadi karenaAbdurrahman Wahid selain berperan sebagai presiden-kyai, juga seorang pemikir humanis.Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenaigagasan modernisasi Abdurrahman Wahid.
B. Pembahasan
Dalam
Teologi Politik Gus Dur 
(2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran Abdurrahman Wahid dari perspektif paradigma teologinya.Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikirandemokrasi Abdurrahman Wahid ketika berhadapan dengan isu relasi antara agamadan negara. Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia, keinginanuntuk menyatukan agama dengan negara pada tataran formal state merupakankegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa
 founding fathers
(termasuk agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila.Abdurrahman Wahid sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama dengan negara, makanya pemikiran politik Abdurrahman Wahid(dan seluruh
concern
pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuanagama dan negara bagi penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebabIslam tidak mengenal doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islammerupakan landasan keimanan warga negara dan pemberi motivasi spiritualdalam menjalankan negara. Pemikiran Abdurrahman Wahid ini memilikikecenderungan kepada preketieuw sekularisasi politik yang lebih mengartikan3
 
adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.Bagi Abdurrahman Wahid (1999: 186), yang profan diprofankan, yangsakral disakralkan, tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories.Itulah sebabnya Abdurrahman Wahid lebih mencita-citakan “Republik Bumi”yang dipertahankan sampai ke sorga, daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi.Abdurrahman Wahid kemudian tidak menginginkan idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan substansial darinegara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini, mekanisme demokrasikemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka harus dikembalikankepada preketieuw UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala pengaturanketata-negaraan kepada preketieuw kedaulatan rakyat melalui perwakilannya
3
.
Rahim pemikiran
Situasi ketika pemikiran Abdurrahman Wahid dilahirkan adalah eradevelopmentalisme yang merupakan varian ekonomi-politik dari agendamodernisasi. Kondisi politik saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasiIslam oleh Orde Baru (Orba). Namun, kondisi tersebut ternyata membuahkan
blessing in disguise ( 
hikmah tersembunyi), yakni terbukanya ruang bagitransformasi Islam kultural, dalam hal ini pembaruan pemikiran Islam.Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada OrdeLama, negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (PiagamJakarta), maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungansimbiosis mutualisme. Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasiteologis atas ideologi tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi dan bisnis. Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi4
 
 birokrasi, yang menandai pudarnya dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibatmobilisasi pendidikan tinggai kaum santri (priyayinisasi santri).Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannyaterhadap gagasan-gagasan pembangunan (
development 
), yang merupakan konsepekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora pertumbuhan (
 growth)
, yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme,laiknya konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai denganmetafora ini dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak  bisa berbalik, dan bertujuan.Dalam konsep
modernizing paradigm
ini, pembangunan dilihat dari perspektif evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (
under developed)
dipetakan dalam berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya danmiskin. Lahirlah
term
Dunia Ketiga, yang menjadi
trade mark 
negara-negara baru pasca-kolonialisme, yang miskin, tradisional, dan terbelakang, sehinggamembutuhkan uluran tangan kemajuan dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan dengan demikian menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses peniruan
(imitative process)
, dimana bangsayang kurang berkembang, secara perlahan mengadopsi kualitas dari bangsa- bangsa industri.Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalahkalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai
 secular modernizing intellectual 
. Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya HerbFeith, Geertz, Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, merekamencoba mempengaruhi iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan modernisasi dan pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme)tersebut adalah perbedaan yang tajam antara masyarakat modern dengantradisional.
4
Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendatiterintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atasikatan suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memilikisedikit struktur otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan.5



 
Meminjam dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakanrasionalitas instrumental yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya,sementara masyarakat tradisional masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimanatujuan dari perilaku sosial dilandaskan pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dantentunya tidak 
manageable
. Pada tataran politis, modernisasi kemudianmenciptakan “kemajemukan fungsional yang bertata nilai” (
 fungtional valuational pluralism)
5
Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama,hanya sebagai salah satu nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan lain,semisal pemerintahan, ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika, dan sistemkemasyarakatan secara keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak memilkilegitimasi fungsional bagi jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi sudahdiambil alih oleh lembaga-lembaga rasional dengan manajemen berdasarkanfilsafat sekular.Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagaisatu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumitidak diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudahterkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai PersatuanPembangunan) pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakniantara terma “persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudahmengindikasikan pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme.Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Padaawal rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkandengan komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasiekonomisme yang dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinyaideologi”. Dalam strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada preketieuw masyarakat industri, namun juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi, sehingga energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara maksimal mengejar surplus ekonomi tingkattinggi, berdasarkan industrialisasi dan perdagangan global. Inilah resikodemokrasi, dimana pertarungan berdasarkan idealisme aliran, harus dikubur,6
 
diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen, melalui mekanisme partai, pemilu, dan kompromi politik.Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai“ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubunganagama dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan STurner, misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan
(cement)
sosial yang menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihatagama sebagai “racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantarakelompok yang saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinyakonflik antara otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas pengaturan sosialnya. Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, makasemakin lebarlah potensi konflik tersebut. 
6
 Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapunmafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasidalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme.Tuah agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmuspesialis sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada preketieuwrasionalitas instrumental.
7
Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalismesebagai sistem ekonomi yang pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan.Schumpeter menyatakan, meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilaitradisional, semisal moral agama, namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif”yang makin memperlemah tradisi dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian berdiri tegak diatas kredibilitasnya sendiri.Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yaknisebuah paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponenmasyarakat dalam suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik Orde Baru, di mana pembangunan pada level politik, selalumembutuhkan integrasi pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan berhasil, jika pada level masyarakat, konflik 7
 
 baik atas nama agama, ideologi, paham kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yangterjadi pada era Soekarno, di mana politik menjadi panglima, sehingga benturanideologi menjadi sesuatu yang niscaya.Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihatkehidupan sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menujutujuan politik nan baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagaikesatuan sel-sel; budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kulturalmasyarakat, yang mengabdi pada tujuan utama sistem politik.
8
 Dalam hal ini,tujuan itu telah diarahkan kepada preketieuw pembangunan ekonomi, karenadengan tujuan inilah Orde Baru membedakan dirinya dengan Orde Lama, yanglebih menjadikan pembangunan politik sebagai tujuan pemerintahan. Dalammodel itu, politik menjadi panglima, di mana kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu model demokrasi terpimpin yang sentralistik. Ini yangmembuat orientasi ekonomi terbengkalai, sehingga kelahiran Orde Baru terbebanioleh inflasi ekonomi yang tidak stabil. Soeharto hadir untuk membalik situasi itu,yakni super-ordinasi pembangunan ekonomi atas pergulatan politik ideologis,yang nyata membawa Indonesia pada konflik sektarian melelahkan. Setidaknyainilah legitimasi yang diciptakannya, sehingga masyarakat diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru, membawa perbaikan bagi kondisi bangsa yangtercarut oleh marut perbenturan politik era Soekarno.Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, dimana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu padakesadaran kolektif (
collective

 solidarity
) dari sosiologi Durkheim yangmenempatkan agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama kemudian menjelma
common

denominator 
(sebutan bersama) bagi kesepakatan masyarakat.Paradigma ini yang dikritik Abdurrahman Wahid, karena dalam sejarah,selain memainkan peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi.Sejak Islam hadir misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter, melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara8

pandang integrasi kemudian menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalamsuatu gerak statis legitimatif atas kekuasaan yang ada.Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Abdurrahman Wahid kemudianmenambatkan basis politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau lebih berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan,dibanding kepercayaan akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal,Abdurrahman Wahid dan masyarakat nahdliyin lahir dalam rengkuhan kultur,yang otonom, sekaligus mampu mempengaruhi supra-kultur secara umum.Kepercayaan terhadap kultur ini pada akhirnya akan menjadikannya sebagai penggerak 
counter 
-
hegemony
, menandingi hegemoni negara. Jadi, AbdurrahmanWahid bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat budaya sebagai elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya melakukan kritik atasMarxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari basis struktur ekonomi.
9
Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi AbdurrahmanWahid. Artinya, demokrasi bukan pergulatan institusional yang baca ini goblogteortisnya yang terpenting. Tetapi praktik demokratisasi pada level budaya.Kebudayaan demokratislah yang diperjuangkan Abdurrahman Wahid, karenatanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan simbolik (
 symbolic

violence
),di mana negara mempraktikkan penindasan dengan bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.Orientasi kultural ini pula yang membuat Abdurrahman Wahid tidak melakukan revolusi, karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealismeideologis. Tentu hal ini kemudian membutuhkan suatu pendekatan pergerakan,yang Abdurrahman Wahid sebut sebagai sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk  pada kebutuhan melakukan pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam sub-sistem.
10
Semisal Pancasila, di manaAbdurrahman Wahid tidak hendak menggantikannya dengan ideology Islam.Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti, karena yang terpentingadalah penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam praksis politik.9
 
Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi, untuk menggerakkan kesadaranmasyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak: kritik atas penyimpangan nilai pada supra-struktur politik, sembari melakukan pendampingan masyarakat bawah, guna menggali kemandirian masyarakat yang telah disediakan oleh basiskultur.Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering munculadalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitasyang hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapaagen perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan. Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslahmelakukan identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakahtradisi bisa beradaptasi, yang baca ini goblog bahkan melakukan perlawanandengan modernitas?Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaanIndonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Abdurrahman Wahid kemudian memberikantiga model pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya.Pertama, pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampumelakukan sesuatu yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial inikemudian menyalahkan hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun,struktur pemerintahan yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, serta kekuatan politik begitu mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak hasil dari karya yang tidak sebanding artinya dengan kedudukanyang mereka pegang.
11
 Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan
industrial civilization
, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubunganraisonalitas instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yangtidak dapat terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan banyak disalah pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh
 sex
dan10
 
kekerasan, sikap individualisme dan anarki yang tidak memperdulikanmasyarakat, kerusakan moral, hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap”ini merupakan luapan kebebasan dari sebagian masyarakat modern gunamengatasi kebosanan kehidupan yang monoton dalam industrialisasi.
12
Darisinilah para kritikus semacam Sutan, yang baca ini goblog Mochtar Lubiskemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam menemukan“ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi, sepertiyang dikehendaki kebudayaan modern.
13
 Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikapyang sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilaitersebut pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yangtelah membawa bangsa kepada preketieuw kejayaan kemerdekaan, dan dengansendirinya harus akan membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana” seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”,kesediaan berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentinganorang lain, melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan(
 sepi ing pamrih, rame ing gawe
), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan,dst. Karena adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesiamenjadi bangsa pecinta damai, sopan kepada preketieuw orang lain tanpasedikitpun menyerahkan diri kepada preketieuw akibat-akibat koruptif darimodernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan yangkaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi tekun dalam membangunmasyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan satu sama lain, semuanilai diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, penataran P4 (PedomanPenghayatan dan Pengmalan Pancasila).Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilaiIndonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (
 political adversaries
)11
 
maupun musuh politik (
 political enemies
). “Pengamanan” Pancasila sebagaiideologi negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintahdan kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiranyang benar” atas ideologi negara.
14
Proses ini, yang oleh Abdurrahman Wahiddisebut sebagai “rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”
15
menemuruang misalnya dalam penolakan (atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara,terhadap liberalisme, baik dalam bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telahtermaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme,semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak  perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karenamendukung kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasilakemudian dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainyakemajuan. Namun persaingan harus dilangsungkan secara penuh kesopanan,dipenuhi suasana saling memberi dan menerima. Yang menang
tokh
akanmewakili kepentingan semua pihak, melalui keputusan berdasarkan konsensus.Dengan ungkapan lain, berbeda dengan liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.
16
 Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilaiIndonesia, maka kita harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukanorientasi hidup masyarakat secara empiris dan objektif. Dalam hal iniAbdurrahman Wahid melihat adanya transformasi dalam metodologi riset sosial- budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-unsur kehidupan masyarakat,lebih koheren. Bagi Abdurrahman Wahid, pendekatan positivistik dalamantropologi
a la
Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek 12

 
sosio-budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermindalam premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasitertentu masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap
 priyayi
keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan iniAbdurrahman Wahid temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap“..konflik apakah yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yangdianggap negatif terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yangdianggap positif bagi pembangunan?” Dari sinilah Abdurrahman Wahidkemudian mengamini sebuah transformasi metodologis bagi tercapainya risetkebudayaan yang komprehensif dan mampu masuk dalam “pergulatan sosial”masyarakat.13
 
C. Kesimpulan
Pemikiran-pemikiran Gus Dur sering dinilai banyak kalangan sebagai pemikiran yang terlalu maju dan melampaui masanya sehingga, bagi yang kurangmengerti, terkesan kontroversial, nyleneh, yang baca ini goblog nabrak-nabrak.Bagi saya, hal itu justru bukti kemodernan dalam dirinya, yang timbul sebagaiimplikasi dari penguasaan yang baik atas informasi (buku) yang tak terkira banyaknya. Maka, buat “membaca” Gus Dur, kita mesti menyiapkan pulainformasi yang beranekaragam, yang setara dengan yang dimilikinya.Kendati dikenal luas sebagai seorang yang modernis, Gus Dur tak pernahsekali pun menanggalkan nilai-nilai tradisional pesantren yang menjadi latar  belakangnya. Kebersahajaannya membuktikan hal itu. Setenar yang baca inigoblog semaju apa pun pemikiran-pemikirannya, tempatnya berpulang padaakhirnya adalah melalui pesantren juga—kembali kepada preketieuw kiai, santri,dan warga nahdliyin keseluruhan.Hal inilah barangkali yang mesti menjadi teladan bagi kita semua dan haruskita teruskan. Kita tentu harus senantiasa berpikiran maju, sebagai konsekuensidari zaman yang melaju ke depan. Akan tetapi, kemajuan tersebut jangan sampaimengabaikan nilai-nilai tradisional yang menjadi jati diri kita. Terkait dengan ini,kita bisa meniru Jepang. Jepang terkenal sebagai bangsa modern dan maju yangtumbuh selaras dengan nilai-nilai luhur tradisinya.14
 
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid,
 Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik 
, dalam
 Prisma Pemikiran Gus Dur 
, Yogyakarta:LKiS, 2000Abdurrahman Wahid,
Agama, Ideologi, dan Pembangunan
, Prisma 11, November 1980Abdurrahman Wahid,
 Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini?
DalamPrisma, No 11, November 1981,Abdurrahman Wahid,
 Pancasila dan Liberalisme
, dalam
 Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
, Jakarta: Desantara, 2001Abdurrahman Wahid,
 Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan,
dalam
Muslim di Tengah Pergumulan,
Jakarta: Leppenas,1981, h., 8-9DE Smith (ed),
 Religion, Politics and Social Change,
The Free Press, 1971Donald E Smith,
 Agama dan Modernisasi Politik 
, Jakarta : CV Rajawali, 1985Fachry Ali,
 Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru,
Prisma 3, Maret 1991M Rusli Karim,
 Agama, Modernisasi dan Sekularisasi,
Yogyakarta : TiaraWacana, 1994Meminjam judul buku
 Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran danGerakan Gus Dur,
Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.Sutan Takdir Alisjahbana,
 Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Prisma 11, November 1981Ulil Abshar-Abdalla,
 Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik 
”,Tashwirul Afkar, Edisi No 4/199915
 
CATATAN AKHIR 
16
 
1
Meminjam judul buku
 Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,
Tim INCReS,Bandung : INCReS, 2000.
2

Al-Zastrouw, 1999: 32
3

L Santoso, 193-199
4
Fachry Ali,
 Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru,
Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-90
5
Donald E Smith,
 Agama dan Modernisasi Politik 
, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17
6
DE Smith (ed),
 Religion, Politics and Social Change,
The Free Press, 1971, hlm 1-2
7
M Rusli Karim,
 Agama, Modernisasi dan Sekularisasi,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm 9-21
8
Fachry Ali, Op.cit.
9
Donald E Smith, op. cit
10
Abdurrahman Wahid,
 Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan,
dalam
Muslim di Tengah Pergumulan,
Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9
11
Abdurrahman Wahid,
 Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini?
Dalam Prisma, No 11, November 1981,h., 3
12
Sutan Takdir Alisjahbana,
 Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan danTeknologi,
Prisma 11, November 1981, h., 23-24
13
Ulil Abshar-Abdalla,
 Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik 
”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999,hlm. 51
14
Abdurrahman Wahid,
Agama, Ideologi, dan Pembangunan
, Prisma 11, November 1980, h., 14
15
Abdurrahman Wahid,
 Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik 
, dalam
 Prisma Pemikiran Gus Dur 
,Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28
16
Lihat Abdurrahman Wahid,
 Pancasila dan Liberalisme
, dalam
 Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
,Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68