ABDURRAHMAN WAHID, DAN KEUNGGULAN GAGASANMODERNISASINYA
.Pendahuluan
Studi tentang pemikiran Abduurahman Wahid yang
lebih dikenal dengansebutan “Gus Dur” merupakan pintu gerbang bagi ”arus balik”
penelitian Islam,khususnya
Islam yang sering dikategorikan sebagai tradisionalis, dari paradigmamodern mindedness (pengagungan terhadap
modernitas) kepada preketieuwmindset
riset yang lebih ”menghormati tradisi”. Sejak awal 1950 hingga dekade1970-an,
penelitian terhadap Islam Indonesia mengalami bias modernisasi. Adadua
agen di sana. Pertama, Muslim modernis yang memang sejak dekade 1930-antelah
berseteru dengan Muslim tradisional, sehingga lahirlah NU yang
meskipun bukan reaksi atas puritanisme, namun telah lama menyimpan
pergulatan panjangdengan komunitas Muslim pengikut Syekh Abduh, semisal SI,
Muhammadiyah,al-Irsyad, dan Persis. Puncak
seteru tersebut terjadi ketika NU keluar dariMasyumi dan berdiri sebagai
partai sendiri pada 1952. Dari sinilah, kajian tentang(politik) NU berjalin kelindan dengan sinisme Masyumi, karena NU dianggapmengkhianati
perjuangan Islam melalui koalisi dengan pihak nasionalis.Membicarakan pemikiran Abdurrahman Wahid, tidak
bisa terlepas darikenyataan bahwa Ia
berada pada posisi
beyond the symbols
1
. Berbagai macamsimbol yang baca ini goblog peran
melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman
Abdurrahman Wahid sendiri terhadap realitas sosial yang multidimensi, sehingga tanggapan atas realitas tersebut
tidak bisa bersifat monolitik.Secara
psikologis, Abdurrahman Wahid besar diantara “tiga dunia”; yakni pertama,
dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur hirarkis,feodal
dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah yangterbuka dan
keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular
2
.Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan perhatian yang multi dimensi. Mulai dari
revivalisme pesantren, kritik pragmatisme
pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan
budaya, sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang
bisa saling berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas
tradisional, pemikir liberal-humanis,
politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuatAbdurrahman Wahid tak bisa lepas dari kontradiksi.
Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim malah
mengusulkan diperbolehkannya lagi ajarankomunisme berkembang, padahal sebagai
presiden apalagi muslim, ia seharusnyatetap
mengubur ideologi “sesat” yang dikutuk kaum muslim dan bersifattraumatik dalam rekaman sejarah orang Indonesia,
semuanya terjadi karenaAbdurrahman Wahid selain berperan sebagai
presiden-kyai, juga seorang pemikir humanis.Berdasarkan hal di atas, maka dalam makalah ini akan diuraikan mengenaigagasan
modernisasi Abdurrahman Wahid.
B. Pembahasan
Dalam
Teologi Politik Gus Dur
(2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran Abdurrahman Wahid dari perspektif paradigma teologinya.Pengambilan angle (sudut pandang) ini merupakan penggambaran pemikirandemokrasi
Abdurrahman Wahid ketika berhadapan dengan isu relasi antara agamadan negara.
Karena dalam kehidupan demokratisasi terlebih Indonesia, keinginanuntuk menyatukan agama dengan negara pada tataran
formal state merupakankegelisahan sepanjang masa, meskipun sejak Proklamasi
1945, Indonesia oleh beberapa
founding fathers
(termasuk agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia
adalah nation state berdasarkan azas pluralisme Pancasila.Abdurrahman Wahid sendiri menurut Listiyono juga
setuju dengan penyatuan agama dengan negara, makanya pemikiran
politik Abdurrahman Wahid(dan seluruh
concern
pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja,
penyatuanagama dan negara bagi penganut Islam substantif ini tidak bersifat
formal, sebabIslam tidak mengenal doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islammerupakan landasan keimanan warga negara dan pemberi motivasi spiritualdalam menjalankan negara. Pemikiran Abdurrahman Wahid ini memilikikecenderungan kepada preketieuw sekularisasi politik yang lebih mengartikan3
adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan
agama dengan politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.Bagi Abdurrahman Wahid (1999: 186), yang profan
diprofankan, yangsakral disakralkan, tidak dicampur-adukkan secara a-rasional
dan a-histories.Itulah sebabnya
Abdurrahman Wahid lebih mencita-citakan “Republik Bumi”yang dipertahankan sampai ke sorga, daripada
“Kerajaan Tuhan” di bumi.Abdurrahman
Wahid kemudian tidak menginginkan idealisasi negara dari perspektif
Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis dan substansial darinegara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam
hal ini, mekanisme demokrasikemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak.
Sehingga ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum
nasional, maka harus dikembalikankepada preketieuw UUD 1945, yang didalamnya
menyerahkan segala pengaturanketata-negaraan kepada preketieuw kedaulatan
rakyat melalui perwakilannya
3
.
Rahim pemikiran
Situasi ketika pemikiran Abdurrahman Wahid
dilahirkan adalah eradevelopmentalisme yang merupakan varian ekonomi-politik
dari agendamodernisasi.
Kondisi politik saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasiIslam oleh Orde Baru (Orba). Namun, kondisi
tersebut ternyata membuahkan
blessing in disguise (
hikmah tersembunyi), yakni terbukanya ruang
bagitransformasi
Islam kultural, dalam hal ini pembaruan pemikiran Islam.Secara sosiologis, era
developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah banyak melakukan
perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan perubahan pada ranah struktural, hubungan
Islam dan negara. Jika pada OrdeLama,
negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (PiagamJakarta),
maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungansimbiosis mutualisme. Satu sisi, Islam kultural
mencoba memberikan legitimasiteologis atas ideologi tunggal Pancasila,
berbarengan dengan terbukanya akses bagi
santri kelas menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi dan bisnis. Lahirlah
birokratisasi Islam dan Islamisasi4
birokrasi, yang menandai pudarnya dikotomi
santri-priyayi Geertzian, akibatmobilisasi pendidikan tinggai kaum santri
(priyayinisasi santri).Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru
adalah penerimaannyaterhadap gagasan-gagasan pembangunan (
development
), yang merupakan konsepekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral
dari perspektif ini adalah metafora pertumbuhan
(
growth)
, yakni pertumbuhan yang terwujud dalam
organisme,laiknya konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai
denganmetafora ini dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif,
evolutif, tak bisa berbalik, dan bertujuan.Dalam
konsep
modernizing paradigm
ini, pembangunan dilihat dari perspektif evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (
under developed)
dipetakan dalam berbagai perbedaan yang bisa
dilacak, antara bangsa kaya danmiskin. Lahirlah
term
Dunia Ketiga, yang menjadi
trade mark
negara-negara baru pasca-kolonialisme,
yang miskin, tradisional, dan terbelakang, sehinggamembutuhkan uluran
tangan kemajuan dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan dengan demikian menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses peniruan
(imitative process)
, dimana bangsayang kurang
berkembang, secara perlahan mengadopsi kualitas dari bangsa- bangsa
industri.Sejak awal 1970-an, pendukung utama
paradigma modernisasi ini adalahkalangan
menengah kota yang disebut Liddle sebagai
secular modernizing intellectual
. Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial
layaknya karya HerbFeith, Geertz, Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt,
Rostow, dsb, merekamencoba mempengaruhi iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan modernisasi dan pembangunan. Inti dari
ideologi pembangunan (isme)tersebut
adalah perbedaan yang tajam antara masyarakat modern dengantradisional.
4
Secara struktural, sebuah masyarakat modern
lebih terdiferensiasi, kendatiterintegrasi, dimana
ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atasikatan suci dan
primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memilikisedikit
struktur otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan.5
Meminjam dikotomi Weberian, masyarakat modern
lebih menggunakanrasionalitas instrumental yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya,sementara
masyarakat tradisional masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimanatujuan
dari perilaku sosial dilandaskan pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dantentunya tidak
manageable
. Pada tataran politis, modernisasi kemudianmenciptakan “kemajemukan fungsional yang bertata nilai” (
fungtional valuational pluralism)
.
5
Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama,hanya sebagai salah satu nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan
lain,semisal pemerintahan, ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika,
dan sistemkemasyarakatan secara keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak
memilkilegitimasi fungsional bagi jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi
sudahdiambil alih oleh
lembaga-lembaga rasional dengan manajemen berdasarkanfilsafat
sekular.Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran,
sebagaisatu tahapan utama bagi depolitisasi
secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumitidak diberikan, sementara
partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudahterkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP
(Partai PersatuanPembangunan) pun
merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakniantara terma
“persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudahmengindikasikan
pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme.Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Padaawal rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu
ekstrim kanan bersandingkandengan komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat
logis dari orientasiekonomisme yang dipilih Orba, sebab pembangunanisme
mensyaratkan “matinyaideologi”. Dalam
strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris
kepada preketieuw masyarakat industri, namun juga menghendaki
lunturnya pertarungan politik
berdasarkan ideologi, sehingga energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara maksimal mengejar
surplus ekonomi tingkattinggi,
berdasarkan industrialisasi dan perdagangan global. Inilah resikodemokrasi, dimana pertarungan berdasarkan
idealisme aliran, harus dikubur,6
diganti dengan kompetisi rasional dalam
parlemen, melalui mekanisme partai, pemilu, dan kompromi politik.Dalam kaitan ini,
paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai“ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis,
hubunganagama dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut.
Bryan STurner, misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan
(cement)
sosial yang menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga
melihatagama sebagai “racun sosial” yang
akan memaksa konflik kepentingan diantarakelompok yang saling
bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinyakonflik antara otoritas agama versus negara, jika
agama hendak memperluas pengaturan sosialnya. Semakin “gemuk” agama
dalam sistem sosio-politik, makasemakin lebarlah potensi konflik
tersebut.
6
Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu
kitapunmafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan”
rasionalisasidalam mengganti segala bentuk
sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme.Tuah agama, dalam abad
rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmuspesialis sebagai perubahan
otoritas dari rasionalitas nilai kepada preketieuwrasionalitas
instrumental.
7
Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalismesebagai
sistem ekonomi yang pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan.Schumpeter menyatakan, meskipun kapitalisme
berdiri diatas nilai-nilaitradisional, semisal moral agama, namun ia
memiliki potensi “penghancur kreatif”yang makin memperlemah tradisi dan oleh
karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian berdiri
tegak diatas kredibilitasnya sendiri.Dari
sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yaknisebuah paradigma yang berhasrat untuk menyatukan
semua komponenmasyarakat dalam suatu
sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik Orde Baru, di mana pembangunan pada level
politik, selalumembutuhkan integrasi
pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan berhasil,
jika pada level masyarakat, konflik 7
baik atas nama agama, ideologi, paham kelompok, dsb berbenturan. Satu
hal yangterjadi pada era Soekarno, di mana
politik menjadi panglima, sehingga benturanideologi menjadi sesuatu yang
niscaya.Paradigma integrasi ini berangkat
dari konsepsi sistem yang melihatkehidupan
sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menujutujuan
politik nan baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagaikesatuan sel-sel; budaya, agama, ormas, ideologi,
dan segenap elemen kulturalmasyarakat, yang mengabdi pada tujuan utama sistem
politik.
8
Dalam hal ini,tujuan itu telah
diarahkan kepada preketieuw pembangunan ekonomi, karenadengan tujuan inilah Orde Baru membedakan dirinya
dengan Orde Lama, yanglebih
menjadikan pembangunan politik sebagai tujuan pemerintahan. Dalammodel itu,
politik menjadi panglima, di mana kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu model demokrasi terpimpin
yang sentralistik. Ini yangmembuat orientasi ekonomi terbengkalai,
sehingga kelahiran Orde Baru terbebanioleh inflasi ekonomi yang tidak stabil.
Soeharto hadir untuk membalik situasi itu,yakni
super-ordinasi pembangunan ekonomi atas pergulatan politik ideologis,yang nyata
membawa Indonesia pada konflik sektarian melelahkan. Setidaknyainilah
legitimasi yang diciptakannya, sehingga masyarakat diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru, membawa perbaikan
bagi kondisi bangsa yangtercarut oleh marut perbenturan politik era
Soekarno.Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif,
dimana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu padakesadaran kolektif (
collective
solidarity
) dari sosiologi Durkheim yangmenempatkan agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama kemudian menjelma
common
denominator
(sebutan bersama) bagi kesepakatan masyarakat.Paradigma ini yang dikritik Abdurrahman Wahid, karena dalam
sejarah,selain memainkan peran integrasi, agama terlebih menggerakkan
transformasi.Sejak Islam hadir misalnya, agama ini telah mengamanatkan
pembaruan struktur sosial yang
egaliter, melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara8
pandang integrasi kemudian menjebak agama, dan elemen kultural lainnya
dalamsuatu gerak statis legitimatif atas kekuasaan yang ada.Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Abdurrahman
Wahid kemudianmenambatkan basis
politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau
lebih berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan,dibanding kepercayaan akan institusi. Hal ini
wajar, sebab sejak awal,Abdurrahman
Wahid dan masyarakat nahdliyin lahir dalam rengkuhan kultur,yang otonom, sekaligus mampu mempengaruhi
supra-kultur secara umum.Kepercayaan terhadap kultur ini pada akhirnya akan
menjadikannya sebagai penggerak
counter
-
hegemony
, menandingi hegemoni negara. Jadi, AbdurrahmanWahid bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat budaya sebagai
elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya melakukan
kritik atasMarxisme, yang hanya
menempatkan kultur sebagai bias dari basis struktur ekonomi.
9
Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari
demokrasi AbdurrahmanWahid. Artinya, demokrasi bukan pergulatan institusional
yang baca ini goblogteortisnya yang terpenting. Tetapi praktik
demokratisasi pada level budaya.Kebudayaan demokratislah yang
diperjuangkan Abdurrahman Wahid, karenatanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan
simbolik (
symbolic
violence
),di mana negara mempraktikkan penindasan dengan bersembunyi dalam
lembaga-lembaga demokrasi.Orientasi
kultural ini pula yang membuat Abdurrahman Wahid tidak melakukan revolusi, karena bagi masyarakat Sunni,
muara perjuangan politik adalah
kemashlahatan umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealismeideologis. Tentu hal ini kemudian membutuhkan
suatu pendekatan pergerakan,yang Abdurrahman Wahid sebut sebagai
sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan
melakukan pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam sub-sistem.
10
Semisal Pancasila, di manaAbdurrahman
Wahid tidak hendak menggantikannya dengan ideology Islam.Pancasila sebagai
supra-struktur negara tidak diganti, karena yang terpentingadalah penjagaan
atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam praksis politik.9
Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi,
untuk menggerakkan kesadaranmasyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal
kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak:
kritik atas penyimpangan nilai pada supra-struktur
politik, sembari melakukan pendampingan masyarakat bawah, guna menggali
kemandirian masyarakat yang telah disediakan oleh basiskultur.Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan
yang sering munculadalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian”
nilai-nilai modernitasyang hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi
terhadap wilayah, serta siapaagen perubahan
yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan. Disisi
lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslahmelakukan identifikasi diri, terhadap segenap
kekuatan serta kelemahan: apakahtradisi
bisa beradaptasi, yang baca ini goblog bahkan melakukan perlawanandengan
modernitas?Berangkat dari sinilah,
perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaanIndonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Abdurrahman Wahid kemudian
memberikantiga model pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta
segala tradisinya.Pertama, pandangan yang
menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh
tidak mampumelakukan sesuatu yang
berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial inikemudian
menyalahkan hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun,struktur pemerintahan yang tidak demokratis,
keterbelakangan dalam segala bidang,
serta kekuatan politik begitu mutlak dari elite yang mampu
memperoleh begitu banyak hasil dari karya yang tidak sebanding artinya
dengan kedudukanyang mereka pegang.
11
Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan
industrial civilization
, melalui penciptaan teknologi, sehingga
hubunganraisonalitas
instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yangtidak dapat terpisah. Hanya saja substansi dari
modernitas ini, menurut Sutan banyak
disalah pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern seperti yang terlihat dalam
hiburan dangkal penuh
sex
dan10
kekerasan, sikap individualisme dan anarki yang
tidak memperdulikanmasyarakat, kerusakan moral, hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi
gelap”ini merupakan luapan kebebasan dari
sebagian masyarakat modern gunamengatasi
kebosanan kehidupan yang monoton dalam industrialisasi.
12
Darisinilah para kritikus semacam
Sutan, yang baca ini goblog Mochtar Lubiskemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam menemukan“ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa
dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan
disiplin kerja penuh efisiensi, sepertiyang dikehendaki kebudayaan modern.
13
Pandangan kedua tentang manusia
dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikapyang sangat mengidealisir
nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilaitersebut pada kedudukan
yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yangtelah membawa bangsa kepada preketieuw kejayaan kemerdekaan, dan dengansendirinya harus akan membawa bangsa pada upaya
tak berkeputusan untuk emncapai masyarakat yang adil dan makmur.
Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana”
seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”,kesediaan
berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentinganorang lain,
melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan(
sepi ing pamrih, rame ing gawe
), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan,dst. Karena adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa
Indonesiamenjadi bangsa pecinta
damai, sopan kepada preketieuw orang lain tanpasedikitpun menyerahkan diri kepada preketieuw akibat-akibat koruptif
darimodernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang dalam pada kehidupan
yangkaya dengan refleksi dan meditasi, serta
sabar tetapi tekun dalam membangunmasyarakat adil di masa depan. Walaupun
bertentangan satu sama lain, semuanilai diatas telah menjadi bahan
kontemplasi paling intensif dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila, penataran
P4 (PedomanPenghayatan dan Pengmalan Pancasila).Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi
nilai-nilaiIndonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas
Pancasila, agar tidak terjadi
penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (
political adversaries
)11
maupun musuh politik (
political enemies
). “Pengamanan” Pancasila sebagaiideologi negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat
pemerintahdan
kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiranyang benar” atas ideologi negara.
14
Proses ini, yang oleh Abdurrahman Wahiddisebut
sebagai “rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”
15
menemuruang misalnya dalam penolakan (atas nama) Pancasila oleh para
pejabat negara,terhadap liberalisme, baik dalam bentuk sistem demokrasi maupun
filsafat hidup.Penolakan yang tidak terbatas
pada retorika seremoni negara, namun telahtermaktub dalam P4 ini mengacu pada
sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme,semisal budaya politik
bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan
antara hak perorangan
dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karenamendukung kontradiksi dan instabilitas politik,
sementara Demokrasi Pancasila justru
mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasilakemudian
dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan dibolehkan, bahkan didorong, guna
memungkinkan tercapainyakemajuan. Namun persaingan harus dilangsungkan secara
penuh kesopanan,dipenuhi suasana
saling memberi dan menerima. Yang menang
tokh
akanmewakili kepentingan semua pihak,
melalui keputusan berdasarkan konsensus.Dengan ungkapan lain, berbeda dengan liberalisme,
Pancasila melihat budaya persaingan
sebagai bagian dari proses pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.
16
Pandangan ketiga datang dari kaum
akademisi. Pandangan ini tidak mengacu
pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari satu postulat akademis, bahwa
demi ditemukannya nilai-nilaiIndonesia, maka kita harus menggunakan kaidah
ilmiah guna menemukanorientasi hidup
masyarakat secara empiris dan objektif. Dalam hal iniAbdurrahman Wahid
melihat adanya transformasi dalam metodologi riset sosial- budaya yang mengarah pada pemahaman
unsur-unsur kehidupan masyarakat,lebih
koheren. Bagi Abdurrahman Wahid, pendekatan positivistik dalamantropologi
a la
Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai
aspek 12
sosio-budaya kedalam wilayah riset yang
terpecah. Hal ini misalnya tercermindalam premis antropologis milik Prof.
Koentjaraningrat yang melihat orientasitertentu masyarakat, seperti mentalitas
tradisional berupa ketundukan terhadap
priyayi
keraton, sebagai penghambat pembangunan.
Kelemahan pendekatan iniAbdurrahman Wahid temukan dalam ketidakmampuan
peneliti untuk menangkap“..konflik apakah yang dibutuhkan untuk mengarahkan
kembali sebuah nilai yangdianggap negatif
terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yangdianggap positif bagi pembangunan?” Dari sinilah
Abdurrahman Wahidkemudian mengamini
sebuah transformasi metodologis bagi tercapainya risetkebudayaan yang
komprehensif dan mampu masuk dalam “pergulatan sosial”masyarakat.13
C. Kesimpulan
Pemikiran-pemikiran Gus Dur sering dinilai
banyak kalangan sebagai pemikiran yang terlalu maju dan melampaui masanya sehingga, bagi yang
kurangmengerti, terkesan kontroversial,
nyleneh, yang baca ini goblog nabrak-nabrak.Bagi saya, hal itu justru bukti
kemodernan dalam dirinya, yang timbul sebagaiimplikasi dari penguasaan yang baik atas informasi (buku) yang tak
terkira banyaknya. Maka, buat
“membaca” Gus Dur, kita mesti menyiapkan pulainformasi yang
beranekaragam, yang setara dengan yang dimilikinya.Kendati dikenal luas sebagai seorang yang modernis, Gus Dur tak pernahsekali pun menanggalkan nilai-nilai tradisional
pesantren yang menjadi latar belakangnya. Kebersahajaannya
membuktikan hal itu. Setenar yang baca inigoblog semaju apa pun pemikiran-pemikirannya,
tempatnya berpulang padaakhirnya adalah melalui pesantren juga—kembali
kepada preketieuw kiai, santri,dan warga nahdliyin keseluruhan.Hal inilah
barangkali yang mesti menjadi teladan bagi kita semua dan haruskita teruskan. Kita tentu harus senantiasa
berpikiran maju, sebagai konsekuensidari zaman yang melaju ke depan.
Akan tetapi, kemajuan tersebut jangan sampaimengabaikan nilai-nilai tradisional
yang menjadi jati diri kita. Terkait dengan ini,kita bisa meniru Jepang. Jepang terkenal sebagai bangsa modern dan maju
yangtumbuh selaras dengan nilai-nilai luhur tradisinya.14
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid,
Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik
, dalam
Prisma Pemikiran Gus Dur
, Yogyakarta:LKiS, 2000Abdurrahman Wahid,
Agama, Ideologi, dan Pembangunan
, Prisma 11, November 1980Abdurrahman Wahid,
Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini?
DalamPrisma, No 11, November 1981,Abdurrahman
Wahid,
Pancasila dan Liberalisme
, dalam
Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
, Jakarta: Desantara, 2001Abdurrahman
Wahid,
Pengembangan Masyarakat Melalui
Pendekatan Keagamaan,
dalam
Muslim di Tengah Pergumulan,
Jakarta: Leppenas,1981, h., 8-9DE Smith (ed),
Religion, Politics and Social Change,
The Free Press, 1971Donald E Smith,
Agama dan Modernisasi Politik
, Jakarta : CV Rajawali, 1985Fachry Ali,
Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia
dalam Struktur Orde Baru,
Prisma 3, Maret 1991M Rusli Karim,
Agama, Modernisasi dan Sekularisasi,
Yogyakarta : TiaraWacana, 1994Meminjam
judul buku
Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran danGerakan Gus Dur,
Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.Sutan Takdir Alisjahbana,
Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Prisma 11, November 1981Ulil Abshar-Abdalla,
Partai, Civic Education dan Wilayah
“Netral Politik
”,Tashwirul Afkar, Edisi No 4/199915
CATATAN AKHIR
16
1
Meminjam judul buku
Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur,
Tim INCReS,Bandung : INCReS, 2000.
2
Al-Zastrouw, 1999: 32
3
L Santoso, 193-199
4
Fachry Ali,
Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru,
Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-90
5
Donald E Smith,
Agama dan Modernisasi Politik
, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17
6
DE Smith (ed),
Religion, Politics and Social Change,
The Free Press, 1971, hlm 1-2
7
M Rusli Karim,
Agama, Modernisasi dan Sekularisasi,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm 9-21
8
Fachry Ali, Op.cit.
9
Donald E Smith, op. cit
10
Abdurrahman Wahid,
Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan,
dalam
Muslim di Tengah Pergumulan,
Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9
11
Abdurrahman Wahid,
Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini?
Dalam Prisma, No 11, November 1981,h., 3
12
Sutan Takdir Alisjahbana,
Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah
Laju Ilmu Pengetahuan danTeknologi,
Prisma 11, November 1981, h., 23-24
13
Ulil Abshar-Abdalla,
Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik
”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999,hlm. 51
14
Abdurrahman Wahid,
Agama, Ideologi, dan Pembangunan
, Prisma 11, November 1980, h., 14
15
Abdurrahman Wahid,
Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik
, dalam
Prisma Pemikiran Gus Dur
,Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28
16
Lihat Abdurrahman Wahid,
Pancasila dan Liberalisme
, dalam
Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan
,Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68
No comments:
Post a Comment