GUS DURIAN
( Ungkapan Cinta terhadap Gus Dur)
PENGANTAR
Seseorang dicintai oleh berbagai lapisan masyarakat
adalah sebuah prestasi langka dan bukan sesuatu yang mudah didapatkan oleh
setiap orang walaupun orang tersebut telah tiada . Kecintaan tersebut muncul
sebagai wujud penghargaan terhadap sang tokoh atas jasa besar yang telah
dilakukanya baik dalam bentuk tindakan nyata maupun pemikiran pemikiran yang
telah menginspirasi banyak orang untuk melakukan segala bentuk perubahan.
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki
dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah: ekonomi, politik,
sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya
pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H. Abdurahman Wahid yang
lebih akrab dipanggil Gus Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan
kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari
tradisi Ahl Al-Sunnah wal Jama’ah menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial.
Sebagai seorang ilmuan yang genius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk
memberdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pesantren.
Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam.
Pasca wafatnya beliau pada
ahir tahun 2009 yang lalu banyak orang terutama para pencinta dan pengagum Gus
Dur yang kemudian disebut sebagai Gus Durianmerasa terpanggil untuk melestarikan, melanjutkan cita
cita dan perjuangannya. Bagi mereka memahami Gus Dur tidak dapat dilihat dari
satu sudut prespektif karena Gus Dur adalah Multi Prespektif atau Multi Tafsir.
Hal yang paling penting untuk bisa memahami Gus Dur
menurut Greg Berton sebagaimana dikutip Ali Usman adalah selalu mencari apa
yang tersirat dari yang tersurat tidak bijak untuk meremehkan Gus Dur karena
pada dirinya terdapat sesuatu yang lebih daripada apa yang kasatmata. Tidak
bijak pula memahami apa yang di ucapkanya secara harfiah, seringkali apa yang
diucapkanya bukanlah apa yang diketahuinya namun merupakan apa yang
diinginkanya sebagai sesuatu yang benar.(1)
BIOGRAFI GUS DUR
1.
Latar
Belakang
Abdurahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dan
dengan nama lengkap Abdurahman al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di
Denanyar, Jombang Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam
bersaudara. Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal
4 Agustus, sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga
dengan banyak aspek dalam hidupnya dan pribadinya, banyak hal tidaklah seperti
apa yang terlihat. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan.
Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa
ia dilahirkan pada bulan Sya'ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu.
Sebenarnya tanggal 4 Sya'ban 1940 adalah tanggal 7 September.
Ayahnya, K.H. Wahid
Hasyim, mantan menteri
Agama tahun 1949. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jami'yah Nahdlatul
Ulama (NU), sebuah
organisasi masa Islam terbesar di Indonesia. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah
putri pendiri Pondok
Pesantren Denanyar Jombang.
Kakek dari ibunya adalah K.H. Bisri Syamsuri juga merupakan tokoh NU setelah
K.H. Abdul Wahab.
Secara geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan
“darah biru” dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan
priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman
Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat
Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa
Indonesia. Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat
dihormati di kalangan NU, karena kedudukannya sebagai ulama karismatik.
Pada masa kecilya, Abdurahman Wahid tidak seperti
kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya
daripada tinggal bersama ayahnya. Melalui kakeknya ia belajar membaca al-qur’an
di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang
merupakan tokoh yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang
penting lainnya, maka dari sejak kecil Abdurahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh
politik dan orang-orang penting tersebut.
2. Pendidikan
Mengenai riwayat pendidikannya, Abdurahman Wahid mulai
menuntut ilmu :
a. SD Jakarta 1947-1953
b. SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta,
1953-1957
c.Pondok pesantren Rapyak,
Yogyakarta, 1954-1957
d.Pondok pesantren Tegalrejo,
Magelang Jawa Tengah, 1957-1959
e.Pondok pesantren tambak beras,
sambil mengajar di Madrasah Mualimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.
f.Belajar di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement
og Higer Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir,
1964-1969.
g.Belajar di Fakultas Sastra
Universitas Bagdad Irak, 1970-1972.
h.Menjadi dekan dan dosen
Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang., 1972-1974.
i.Sekretaris pondok pesantren
Tebu Ireng, Jombang 1974-1979.
j.Pengasuh Pondok Pesantren
Ciganjur, Jakarta Selatan, 1979 sampai sekarang.
k.Pengasuh Yayasan Pondok
Pesantren Denanyar Jombang, 1996 sampai sekarang.
Abdurahman Wahid adalah seorang
tokoh besar bertarap Internasional yang banyak memiliki kemampuan. Padanya
terdapat bidang ilmu Islam bertarap ulama besar. Kiyai, bahkan wali juga
terdapat keahlian dalambidang ilmu pengetahuan umum dan kombinasi dari berbagai
kemampuan tersebut menyebabkan Ia banyak memiliki kesempatan untuk
mengekpresikannya dalam berbagai aktifitas.[3]
Guru Abdurahman Wahid antara
lain; Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Kiyai Khudari, Rufiah, Iskandar, K.H. Fatah,
K.H. Masduki, Bisri Samsuri, Kiyai Fatah.
KEUTAMAAN DAN DAYA TARIK GUS DUR
Gus Dur mempunyai keutamaan
dan daya tarik tersendiri yang menyebabkan dicintai banyak orang dan banyak
yang kehilangan ketika ditinggalkan. Keutamaan dan daya tarik tersebut dapat
dicermati melalui warisan pemikiran dan perilakunya.
Pertama dalam bidang politik kebangsaan
Gus Dur memberikan tauladan politik yang baik dalam bentuk oposisi demokratik
yang dipegang sebagai prinsip hidupnya baik ketika menjadi ketua umum PBNU,
Ketua Dewan Syuro PKB, Presiden atau pasca lengser dari kursi kepresidenan.
Dalam oposisi Gus Dur mengajarkan dalam memperjuangkan prinsip harus dilakukan secara
teguh dan militan. Hal 308
Oposisi
demokratik kerakyatan yang dibuktikannya adalah sikap kritis terhadap rezim
Suharto berkaitan dengan kasus Kedungombo, menjadi ketua Fordem , melawan
rekayasa rezim Suharto dalam Muktamar Cipasung, Menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden
tahun 1992 dan lain sebagainya namun dengan diiringi oleh sikap politik yang
penuh kelembutan ,simbolis dan taktis.
Ditangan Gus Dur pada saat menjadi
Presiden ,Istana Negara yang awalnya terkesan sakral bagi kehadiran rakyat
biasa berubah menjadi tempat keluh kesah rakyat dan menjadi menjadi tempat
ajang silaturrahmi langsung antara rakyat dengan Presiden. Ini merupakan bukti
bahwa Gus Dur adalah sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Kedua bidang
keagamaan Gus Dur memberikan kontribusi yang
sangat besar bagi perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia tentang “Pribumisasi Islam”. Hal 311Diantara
orang-orang yang tertarik
dengannya merupakan generasi neo-modernis Islam, termasuk tokoh-tokoh lain
seperti Nurcholis Madjid, Jalaludin Rahmat, Dawam Raharjo dan Amien Rais yang
menganjurkan Islamisasi atau re-Islamisasi bangsa Indonesia, Abdurahman Wahid
menekankan Indonesia, pribumisasi atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini,
ia ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat.
”Sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya
yang permanent. Di sisi lain budaya adalah ciptaan manusia dan oleh karena itu
berkembang sesuai dengan perubahan sosial, tetapi hal ini tidak menghalangi
manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.”[4]
Menurut Gus Dur pribumisasi Islam adalah suatu
pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam
merumuskan hokum-hukum agama, tetapi agar norma-norma itu menampung
kebutuhan-kebutuhan dan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan
oleh variasi ushul al-fiqh dan qowaid al-fiqh.
Dalam proses ini Gus Dur pembauran Islam dengan budaya
tidak boleh terjadi sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam
harus tetap pada sifat keIslamannya. Al-qur’an harus tetap dalam bahasa arab,
terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan
al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pemahaman bukan menggantika Al-Qur’an itu sendiri.
Abdurahman Wahid benar-benar
sebuah teka-teki, ia bukan tradisionalis konserfatif, bukan pula modernis
islam. Dia seorang pemikir liberal, seorang pemimpin organiasasi islam berbasis
tradisi terbesar. Sebagai seorang cendekiawan inovatif yang memeragakan
profesional biasa atau intelektual, dia memimpin suatu organisasi ulama (NU). Gus
dur adalah guru bangsa ditengah arus perubahan dari mas rezim Suharto hingga
masa reformasi.
RESPON MASYARAKAT
Diantara gagasan yang menjadi
kotrofersi adalah ketika Gus Dur mengatakan Assalamu’alaikum seperti
Ahlan Wasahlan atau Sobahul Khoir artinya bisa diganti dengan
“selamat pagi” atau “apa kabar”. Gagasan ini membuat geger umat, termasuk
kalangan NU sendiri, wakil ketua PBNU Syaiful Madjad mengakui bahwa ucapan Gus
Dur tentang masalah tersebut sempat membuat gelisah warga NU, dan sejumlah
kiyai sepuh NU.
Golongan NU yang tidak sepakat dengan Gus Dur lebih
banyak sampai akhirnya kurang lebih dari 200 kiyai berkumpul di Darul Tauhid
untuk mengadili Gus Dur.[5].Tidak kalah
kontrovensinya ketika mencabut Tap MPRS
No. XXXV tahun 1966 pada saat menjadi Presiden yang menuai banyak protes.
CORAK PEMBAHARUAN GUSDUR
Sebagai ulama, budayawan dan pemikir, ia banyak
mengeluarkan gagasan-gagasan diantaranya membentuk kelompok warung pemikir yang
bertujuan untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam NU, mendirikan
kelompok Forum demokrasi pada tahun 1991.[6]
Gus Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik
pesantren sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi,
terkait dengan dunia penghayatan realitas. Dengan adanya tulisan-tulisannya
menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampir teori atau tanpa
visi, yang sewaktu-waktu bisa terjerumus pada fragmatisme politik.
Jika dilihat dari segi cultural Gus Dur melintasi tiga
cultural :
- Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang
serba formal.
- Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras.
- Lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler.[7]
Pilar pemikiran Abdurahman Wahid
yaitu :
a)Keyakinan bahwa Islam harus
secara aktif dan substantif ditafsirkan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan
modern.
b)Keyakinannya bahwa dalam
konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara.
c)Islam harus menjadi kekuatan
yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang inklusif.
Legalisme islam adalah produk
masa lalu, suatu realitas sejarah yang dibolehkan yang kemudian menjadi agenda
reformasi Islam kontemporer. Islam historis menyibukkan gerakan atau tradisi
dari dinamisme ke formalisme legal. Karena islam menjadi dilembagakan terutama
melalui hukum. Abdurahman Wahid yakin bahwa islam bermula sebagai suatu
reformasi dinamis yang mengangungkan status manusia sebgai kholifah Allah di
muka bumi yang bertanggungjawab untuk menyaksikan menyebarkan dan menerapkan
cara hidup yang dibenarkan Tuhan.[8]
Dalam buku bunga rampai pesantren
terdapat 12 artikel yang secara umum bertemakan pesantren. Di dalamnya
mennujukkan sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri dasarnya mempunyai
potensi yang lues untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kaum
tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibilitasnya pesantren
dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan,
tetapi dalam seting sosial budaya bahkan politik dan ideologi negara.
Gus Dur berpendapat perlunya
agama diterjemahkan ke dalam budaya setempat. Sesuai dengan tradisi dan
lingkungan NU yang dekat dengan budaya setempat. Pandangan Gus Dur menekankan
korelasi antara pemahaman agama dan realitas sosial budaya. Dengan kata lain,
dalam pengembangan pemahaman agama, aspek kontekstual harus ikut
dipertimbangkan. Pandangan ini sejalan dengan sikap para kiai tradisional di
Jawa, yang selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa interaksi antara agama dan
budaya setempat tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian, Gus Dur mengingatkan
bahwa penerjemhan agama ke dalam budaya setempat harus dikontrol supaya ciri
khas Islam tidak hilang. Hal itu berarti ”Jawanisasi Islam” ataupun ”Islamisasi
Jawa”.
PENGAGUM GUS
DUR
Ketika Gus Dur telah wafat
masyarakat manyadari betapa penting kehadiranya, mereka merindukan suara
lantang advokasi yang berkaitan dengan
kesenjangan sosial dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam kondisi seperti
inilah muncul individu ataupun komunitas tertentu yang hendak melanjutkan
pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Komunitas ini kemudian menamakan dirinya
sebagai Gus Durian , generasi penerus Gus Dur namun perlu disadari pula bahwa Gus Dur bukan hanya milik keluarga ,
warga NU saja tapi Gus Dur adalah milik masyarakat Indonesia dan dunia
Internasional.
Gus Durian tidak bermaksud
mengkultuskan terhadap ketokohan Gus Dur namun menjadikan Gus Dur sebagai
”Objek dan Subjek” sebagai objek berarti mengkaji pemikiran pemikaran Gus Dur
diberbagai Bidang perlu dengan sungguh
sungguh untuk direalisasikan sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan
rakyat.Sebagai subjek berarti menjadikan Pemikiran Gus Dur sebagai sumber
Inspirasi untuk terus dilanjutkan dalam melakukan aksi aksi sosoial kerakyatan.
Gus Durian bukanlah sebuah ideologi seperti Marxisme atau Leninisme.
Komunitas Gus Durian telah
terbentuk di beberapa kota diantaranyaSurabaya, Jakarta ,Jogja dan Jember dengan latar belakang dan kegiatan yang
beraneka ragam maupun komunitas Gus
Durian melalui jejaring sosial. Fenomena demikian menunjukan bahwa masyarakat
mempunyai banyak perhatian terhadap Gus Dur dengan kelebihan – kelebihanya
seiring dengan kelemahan yang dimilikinya sebagai manusia bias
KESIMPULAN
Dilihat dari corak
gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai
pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan yang
unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan
kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikiran ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus
kultural dan aktual.
Menjadikan Gusdur sebagai
inspirasi bagi semua elemen masyaratkat dengan melanjutkan apa yang telah
diperjuangkan dan dilakukannya merupakan sesuatu yang tidak salah terutama bagi
komunitas Gus Durian sebagai salah satu penggagum Gus Dur, maka Jargon “Gus Dur
telah meneladankan, saatnya kita meneruskan” harus dibuktikan dan
direalisasikan.
Komunitas Gus Durian yang
telah tersebar diberbagai kota besar di Indonesia diharapkan mampu meneruskan
dan mengembangkan pemikiran pemikaran Gus Dur sebagai langkah nyata mencari
solusi probelamatika yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk,
agar tetap eksis sebagai salah satu bangsa yang besar didunia.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri Mustafa, Beyond The Simbolic, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 1
Nata Abudin, Tokoh-tokoh Pembauran Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. 3
Jhon Esposito. L-Jhon Vall, O, Tokoh Kunci Gerakan Islam
Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Cet. 1
Kosasih, Hak Gus Dur Untuk
Nyeleneh, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, Cet. 1
Muslim Romdono, 72 Tokoh
Muslim Indonesia, Jakarta: Restu Ilahi, 2005
Dedy Malik Jamaludin – Idi Subandy Ibrahim, Zaman
Baru Islam Indonesia, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Cet. 1
[4] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)h. 261-262
No comments:
Post a Comment