Tuesday, 31 March 2015

Ungkapan Cinta Dus Durian terhadap Gus Dur

GUS DURIAN
( Ungkapan Cinta terhadap Gus Dur)

PENGANTAR
Seseorang dicintai oleh berbagai lapisan masyarakat adalah sebuah prestasi langka dan bukan sesuatu yang mudah didapatkan oleh setiap orang walaupun orang tersebut telah tiada . Kecintaan tersebut muncul sebagai wujud penghargaan terhadap sang tokoh atas jasa besar yang telah dilakukanya baik dalam bentuk tindakan nyata maupun pemikiran pemikiran yang telah menginspirasi banyak orang untuk melakukan segala bentuk perubahan.
Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah: ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H. Abdurahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-Sunnah wal Jama’ah menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial. Sebagai seorang ilmuan yang genius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memberdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam.
Pasca wafatnya beliau pada ahir tahun 2009 yang lalu banyak orang terutama para pencinta dan pengagum Gus Dur yang kemudian disebut sebagai Gus Durianmerasa terpanggil untuk melestarikan, melanjutkan cita cita dan perjuangannya. Bagi mereka memahami Gus Dur tidak dapat dilihat dari satu sudut prespektif karena Gus Dur adalah Multi Prespektif atau Multi Tafsir.
Hal yang paling penting untuk bisa memahami Gus Dur menurut Greg Berton sebagaimana dikutip Ali Usman adalah selalu mencari apa yang tersirat dari yang tersurat tidak bijak untuk meremehkan Gus Dur karena pada dirinya terdapat sesuatu yang lebih daripada apa yang kasatmata. Tidak bijak pula memahami apa yang di ucapkanya secara harfiah, seringkali apa yang diucapkanya bukanlah apa yang diketahuinya namun merupakan apa yang diinginkanya sebagai sesuatu yang benar.(1)
BIOGRAFI GUS DUR
1.      Latar Belakang
Abdurahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dan dengan nama lengkap Abdurahman al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya dan pribadinya, banyak hal tidaklah seperti apa yang terlihat. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan Sya'ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. Sebenarnya tanggal 4 Sya'ban 1940 adalah tanggal 7 September.
Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim, mantan menteri Agama tahun 1949. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jami'yah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi masa Islam terbesar di Indonesia. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Kakek dari ibunya adalah K.H. Bisri Syamsuri juga merupakan tokoh NU setelah K.H. Abdul Wahab.
Secara geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakat Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di kalangan NU, karena kedudukannya sebagai ulama karismatik.
Pada masa kecilya, Abdurahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya daripada tinggal bersama ayahnya. Melalui kakeknya ia belajar membaca al-qur’an di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka dari sejak kecil Abdurahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting tersebut.
2.      Pendidikan
Mengenai riwayat pendidikannya, Abdurahman Wahid mulai menuntut ilmu :
a. SD Jakarta 1947-1953
b. SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957
c.Pondok pesantren Rapyak, Yogyakarta, 1954-1957
d.Pondok pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah, 1957-1959
e.Pondok pesantren tambak beras, sambil mengajar di Madrasah Mualimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.
f.Belajar di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement og Higer Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir, 1964-1969.
g.Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1972.
h.Menjadi dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang., 1972-1974.
i.Sekretaris pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang 1974-1979.
j.Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, 1979 sampai sekarang.
k.Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar Jombang, 1996 sampai sekarang.
l.Anggota Dewan Universitas Saddam Husain Bagdad. [2]
Abdurahman Wahid adalah seorang tokoh besar bertarap Internasional yang banyak memiliki kemampuan. Padanya terdapat bidang ilmu Islam bertarap ulama besar. Kiyai, bahkan wali juga terdapat keahlian dalambidang ilmu pengetahuan umum dan kombinasi dari berbagai kemampuan tersebut menyebabkan Ia banyak memiliki kesempatan untuk mengekpresikannya dalam berbagai aktifitas.[3]
Guru Abdurahman Wahid antara lain; Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Kiyai Khudari, Rufiah, Iskandar, K.H. Fatah, K.H. Masduki, Bisri Samsuri, Kiyai Fatah.
  KEUTAMAAN DAN DAYA TARIK GUS DUR
                        Gus Dur mempunyai keutamaan dan daya tarik tersendiri yang menyebabkan dicintai banyak orang dan banyak yang kehilangan ketika ditinggalkan. Keutamaan dan daya tarik tersebut dapat dicermati melalui warisan pemikiran dan perilakunya.
            Pertama dalam bidang politik kebangsaan Gus Dur memberikan tauladan politik yang baik dalam bentuk oposisi demokratik yang dipegang sebagai prinsip hidupnya baik ketika menjadi ketua umum PBNU, Ketua Dewan Syuro PKB, Presiden atau pasca lengser dari kursi kepresidenan. Dalam oposisi Gus Dur mengajarkan dalam memperjuangkan prinsip harus dilakukan secara teguh dan militan. Hal 308
            Oposisi demokratik kerakyatan yang dibuktikannya adalah sikap kritis terhadap rezim Suharto berkaitan dengan kasus Kedungombo, menjadi ketua Fordem , melawan rekayasa rezim Suharto dalam Muktamar Cipasung, Menolak  pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden tahun 1992 dan lain sebagainya namun dengan diiringi oleh sikap politik yang penuh kelembutan ,simbolis dan taktis.
            Ditangan Gus Dur pada saat menjadi Presiden ,Istana Negara yang awalnya terkesan sakral bagi kehadiran rakyat biasa berubah menjadi tempat keluh kesah rakyat dan menjadi menjadi tempat ajang silaturrahmi langsung antara rakyat dengan Presiden. Ini merupakan bukti bahwa Gus Dur adalah sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Kedua bidang keagamaan Gus Dur memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia  tentang “Pribumisasi Islam”. Hal 311Diantara orang-orang yang tertarik dengannya merupakan generasi neo-modernis Islam, termasuk tokoh-tokoh lain seperti Nurcholis Madjid, Jalaludin Rahmat, Dawam Raharjo dan Amien Rais yang menganjurkan Islamisasi atau re-Islamisasi bangsa Indonesia, Abdurahman Wahid menekankan Indonesia, pribumisasi atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini, ia ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat. ”Sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya yang permanent. Di sisi lain budaya adalah ciptaan manusia dan oleh karena itu berkembang sesuai dengan perubahan sosial, tetapi hal ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.”[4]
Menurut Gus Dur pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hokum-hukum agama, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi ushul al-fiqh dan qowaid al-fiqh.
Dalam proses ini Gus Dur pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keIslamannya. Al-qur’an harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pemahaman bukan menggantika Al-Qur’an itu sendiri.
Abdurahman Wahid benar-benar sebuah teka-teki, ia bukan tradisionalis konserfatif, bukan pula modernis islam. Dia seorang pemikir liberal, seorang pemimpin organiasasi islam berbasis tradisi terbesar. Sebagai seorang cendekiawan inovatif yang memeragakan profesional biasa atau intelektual, dia memimpin suatu organisasi ulama (NU). Gus dur adalah guru bangsa ditengah arus perubahan dari mas rezim Suharto hingga masa reformasi.
RESPON MASYARAKAT
Diantara gagasan yang menjadi kotrofersi adalah ketika Gus Dur mengatakan Assalamu’alaikum seperti Ahlan Wasahlan atau Sobahul Khoir artinya bisa diganti dengan “selamat pagi” atau “apa kabar”. Gagasan ini membuat geger umat, termasuk kalangan NU sendiri, wakil ketua PBNU Syaiful Madjad mengakui bahwa ucapan Gus Dur tentang masalah tersebut sempat membuat gelisah warga NU, dan sejumlah kiyai sepuh NU.
Golongan NU yang tidak sepakat dengan Gus Dur lebih banyak sampai akhirnya kurang lebih dari 200 kiyai berkumpul di Darul Tauhid untuk mengadili Gus Dur.[5].Tidak kalah kontrovensinya  ketika mencabut Tap MPRS No. XXXV tahun 1966 pada saat menjadi Presiden yang menuai banyak protes.
CORAK PEMBAHARUAN GUSDUR
Sebagai ulama, budayawan dan pemikir, ia banyak mengeluarkan gagasan-gagasan diantaranya membentuk kelompok warung pemikir yang bertujuan untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam NU, mendirikan kelompok Forum demokrasi pada tahun 1991.[6]
Gus Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik pesantren sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas. Dengan adanya tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampir teori atau tanpa visi, yang sewaktu-waktu bisa terjerumus pada fragmatisme politik.
Jika dilihat dari segi cultural Gus Dur melintasi tiga cultural :
  1. Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal.
  2. Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras.
  3. Lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler.[7]
Pilar pemikiran Abdurahman Wahid yaitu :
a)Keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substantif ditafsirkan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern.
b)Keyakinannya bahwa dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara.
c)Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang inklusif.
Legalisme islam adalah produk masa lalu, suatu realitas sejarah yang dibolehkan yang kemudian menjadi agenda reformasi Islam kontemporer. Islam historis menyibukkan gerakan atau tradisi dari dinamisme ke formalisme legal. Karena islam menjadi dilembagakan terutama melalui hukum. Abdurahman Wahid yakin bahwa islam bermula sebagai suatu reformasi dinamis yang mengangungkan status manusia sebgai kholifah Allah di muka bumi yang bertanggungjawab untuk menyaksikan menyebarkan dan menerapkan cara hidup yang dibenarkan Tuhan.[8]
Dalam buku bunga rampai pesantren terdapat 12 artikel yang secara umum bertemakan pesantren. Di dalamnya mennujukkan sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri dasarnya mempunyai potensi yang lues untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibilitasnya pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi dalam seting sosial budaya bahkan politik dan ideologi negara.
Gus Dur berpendapat perlunya agama diterjemahkan ke dalam budaya setempat. Sesuai dengan tradisi dan lingkungan NU yang dekat dengan budaya setempat. Pandangan Gus Dur menekankan korelasi antara pemahaman agama dan realitas sosial budaya. Dengan kata lain, dalam pengembangan pemahaman agama, aspek kontekstual harus ikut dipertimbangkan. Pandangan ini sejalan dengan sikap para kiai tradisional di Jawa, yang selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa interaksi antara agama dan budaya setempat tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian, Gus Dur mengingatkan bahwa penerjemhan agama ke dalam budaya setempat harus dikontrol supaya ciri khas Islam tidak hilang. Hal itu berarti ”Jawanisasi Islam” ataupun ”Islamisasi Jawa”.
PENGAGUM GUS DUR
Ketika Gus Dur telah wafat masyarakat manyadari betapa penting kehadiranya, mereka merindukan suara lantang  advokasi yang berkaitan dengan kesenjangan sosial dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam kondisi seperti inilah muncul individu ataupun komunitas tertentu yang hendak melanjutkan pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Komunitas ini kemudian menamakan dirinya sebagai Gus Durian , generasi penerus Gus Dur namun perlu disadari pula  bahwa Gus Dur bukan hanya milik keluarga , warga NU saja tapi Gus Dur adalah milik masyarakat Indonesia dan dunia Internasional.
Gus Durian tidak bermaksud mengkultuskan terhadap ketokohan Gus Dur namun menjadikan Gus Dur sebagai ”Objek dan Subjek” sebagai objek berarti mengkaji pemikiran pemikaran Gus Dur diberbagai Bidang perlu  dengan sungguh sungguh untuk direalisasikan sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.Sebagai subjek berarti menjadikan Pemikiran Gus Dur sebagai sumber Inspirasi untuk terus dilanjutkan dalam melakukan aksi aksi sosoial kerakyatan. Gus Durian bukanlah sebuah ideologi seperti Marxisme atau Leninisme.
Komunitas Gus Durian telah terbentuk di beberapa kota diantaranyaSurabaya, Jakarta ,Jogja dan Jember  dengan latar belakang dan kegiatan yang beraneka ragam  maupun komunitas Gus Durian melalui jejaring sosial. Fenomena demikian menunjukan bahwa masyarakat mempunyai banyak perhatian terhadap Gus Dur dengan kelebihan – kelebihanya seiring dengan kelemahan yang dimilikinya sebagai manusia bias

KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikiran ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual.
Menjadikan Gusdur sebagai inspirasi bagi semua elemen masyaratkat dengan melanjutkan apa yang telah diperjuangkan dan dilakukannya merupakan sesuatu yang tidak salah terutama bagi komunitas Gus Durian sebagai salah satu penggagum Gus Dur, maka Jargon “Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita meneruskan” harus dibuktikan dan direalisasikan.
Komunitas Gus Durian yang telah tersebar diberbagai kota besar di Indonesia diharapkan mampu meneruskan dan mengembangkan pemikiran pemikaran Gus Dur sebagai langkah nyata mencari solusi probelamatika yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, agar tetap eksis sebagai salah satu bangsa yang besar didunia.






DAFTAR PUSTAKA
Bisri Mustafa, Beyond The Simbolic, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 1
Nata Abudin, Tokoh-tokoh Pembauran Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. 3
Jhon Esposito. L-Jhon Vall, O, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Cet. 1
Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, Cet. 1
Muslim Romdono, 72 Tokoh Muslim Indonesia, Jakarta: Restu Ilahi, 2005
Dedy Malik Jamaludin – Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Cet. 1


[2] K.H. Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1 h. 23-24
[3] Prof. Dr. H. Abudinata, M.A. Opcit, h. 334
[4] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)h. 261-262
[5] E. Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, (Bandung: Pustaka Hidayat, 2000) cet. 1 h. 55
[6] Romdono Muslim, S.Ag, Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Ilahi, 2005) h. 32
[7]K.H. Mustafa Bisri, Opcit, h. 36
[8] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit, h. 234-235


No comments:

Post a Comment