NILAI SPIRITUAL MASYARAKAT JAWA
(Studi Tentang Etika Jawa)
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pengembangan
Pendidikan Akhlak yang diampu oleh Prof. Dr. H. Amin Syukur. M.A.

Oleh : Nur Sachidin
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013
NILAI SPIRITUAL MASYARAKAT JAWA
(Studi Tentang Etika Jawa)
Oleh : Nur Sachidin
A.
PENDAHULUAN
Dewasa ini
mayoritas masyarakat kurang peduli dengan masalah spiritualisme, masyarakat
lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau materi. Dimana-mana orang berlomba
untuk mengejar kekayaan materi sebanyak-banyaknya. Sampai akhirnya terjadi
kekacauan yang disebabkan oleh orang-orang tamak yang suka menindas orang lain.
Di dalam pemerintahan terjadi berbagai macam tindak korupsi yang merugikan
rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, korupsi ini sudah merambah ke berbagai
sektor pemerintahan, mulai dari birokrasi, peradilan, bahkan hingga ke
pendidikan. Tindak korupsi pun tidak mengenal tingkatan pemerintahan, tidak
hanya mewabahi para pejabat yang berada di pemerintah pusat yang mencuri
triliunan rupiah uang rakyat, korupsi juga terjadi bahkan sampai di tingkatan
pemerintahan yang paling rendah. Seakan mereka lupa bahwa ada Tuhan yang selalu
mengawasi mereka, dan mereka juga seakan lupa bahwa kelak mereka akan mati dan
meninggalkan harta yang mereka kumpulkan.
Hal ini
disebabkan oleh semakin berkurangnya kesadaran diri mayoritas masyarakat di
zaman sekarang, tanpa kesadaran diri ini manusia akan mudah dipengaruhi oleh
syahwatnya, dan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan yang
diinginkannya. Hal ini sangat memprihatinkan, dan apabila hal ini berkelanjutan
maka bukan tidak mungkin tatanan masyarakat kita akan semakin kacau dan hukum
rimba akan kembali berlaku di dalam masyarakat kita.
Masyarakat jawa
di tengah derasnya arus perubahan ini diharapkan tetap mampu mempertahankan
keluhuran budaya spiritualnya. Kebudayaan spiritualisme masyarakat jawa ini
sangatlah sesuai untuk menghadapi derasnya perkembangan yang semakin menggerus
nilai-nilai kemasyarakatan. Seandainya masyarakat Indonesia pada umumnya dan
masyarakat jawa pada khususnya tetap mempertahankan nilai luhur spiritualisme
jawa, maka bisa dipastikan akan tercipta sebuah peradaban yang tinggi dan
mulia.
B.
PEMBAHASAN
1.
Manusia, Budaya
dan Spiritualitas
Manusia adalah
makhluk yang berbudaya. Eksistensi manusia di dunia ditandai dengan tiada
henti-hentinya berupaya untuk menjadi manusia. Upaya ini berlangsung dalam
dunia ciptaannya sendiri, yakni kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia,
namun manusia sendiri adalah produk kebudayaannya. Kebudayaan menempati posisi
sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia. Seluruh tata bangunan hidup
manusia dan masyarakat berdiri diatas landasan kebudayaan. Jadi, kebudayaan
adalah suatu dunia yang pada dasarnya ditandai dengan dinamika kebebasan dan
kreativitas.[1]
Manusia tanpa kebudayaan merupakan makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi
korban dari keadaannya yang tidak lengkap dari naluri-nalurinya yang tidak
terpadu dan menghancurkan.[2]
Kebudayaan merupakan ukuran bagi tingkah laku dan kehidupan manusia. Kebudayaan
menyimpan nilai-nilai bagaimana tanggapan manusia terhadap dunia, lingkungan,
masyarakatnya dan juga seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok bagi
penentuan sikap terhadap dunia luar, bahkan menjadi dasar setiap langkah yang
dilakukan.[3]
Selain itu,
cara lain untuk menegaskan hakikat manusia adalah dengan mengatakan bahwa kita
adalah binatang religius. Antropolog R. R. Marrett yang pertama kali menegaskan
bahwa homo sapiens lebih baik disebut dengan homo religious. Bagi antropolog
lain seperti Clyde Kluckhon, bahwa tidak ada kelompok manusia tanpa agama.
Sejarawan besar Mirecia Eliade mengemukakan sebuah pandangan yang diterima umum
ketika dia mengatakan bahwa yang suci adalah sebuah unsur di dalam struktur
kesadaran dan bukan sebuah tahap dalam sejarah kesadaran. Rudolf Otto bahkan
mengatakan bahwa ide tentang yang suci adalah apriori, batiniah dalam akal
manusia.[4]
Agama memiliki
banyak fungsi dalam masyarakat, antara lain fungsi edukatif,[5]
penyelamatan,[6]
pengawasan social,[7]
memupuk persaudaraan,[8]
dan fungsi transformatif. Fungsi yang terakhir ini merupakan bentuk fungsi yang
berbeda dari fungsi-fungsi lain. Karena fungsi transformatifberarti agama
melakukan perubahan dalam masyarakat. Dengan kata lain, agama membuat perubahan
bentuk kehidupan masyarakat lama ke dalam bentuk kehidupan masyarakat baru.[9]
2.
Spiritualitas
Jawa
Pengertian Spiritualitas
Jawa lebih dikenal dengan kebatinan, atau kebatinan Jawa. Kata kebatinan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mempunyai akar kata “batin” (arab), yang artinya
di dalam, bagian dalam kata batin mendapat afiks ke-an, menjadi “kebatinan”,
yang artinya bagian tertutup di dalam. Sedangkan secara harfiah, kebatinan
adalah sesuatu yang tersembunyi, kebenaran di balik kebenaran atau kebenaran
yang terdalam.[10]
Menurut H.M. Rasyidi kebatinan merupakan salinan yang wajar dari (letterlijk) dari
kata arab “bathiniyah”, atau merupakan salinan dari perkataan “Occultisme”,
yang artinya tersembunyi dan rahasia.[11]
Spiritualitas
Jawa lebih merupakan sikap hidup keagamaan orang Jawa, karena kenyataannya
dalam praktek kehidupan sehari-hari menjadi semacam agama orang Jawa.
Kepercayaan orang Jawa yang banyak dijumpai di lingkungan istana (kerajaan)
khususnya, terlihat banyak yang bersendikan nilai-nilai agama. Pola hidup spiritual
telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, sehingga menjadi bentuk
kepercayaan masyarakat.
Dengan
demikian, secara historis spiritualitas Jawa (kebatinan) diartikan sebagai
kebudayaan spiritual dari Keraton Jawa, yang berasal dari zaman yang sudah tua
dan telah mengalami perkembangan yang sangat unik pula, “Agama ageming Aji,
Kawruh kawruhing Ratu”[12]
Untuk lebih
jauh memahami spiritualitas Jawa (kebatinan) yang merupakan sikap keagamaan
masyarakat Jawa akan lebih jelas bila diungkapkan tentang hakekat spiritualitas
Jawa itu sendiri. Menurut De Jong spiritualitas jawa itu tidak berdasar pada
doktrin tertentu, namun demikian dalam aliran yang beraneka ragam terdapat
penekanan-penekanan yang sama. Pandangan tentang konsep manusia, kesatuan dan
perkembangannya terdapat kesamaan. Para penganut kebatinan dituntut untuk
menjadi manusia yang “Sepi ing Pamrih, rame ing gawe” dan ikut “memayu
hayuning Bawana”(Banyak bekerja bhakti dengan tanpa mementingkan keuntungan
pribadi dan ikut membentuk dunia yang indah dan makmur), inilah yang menjadi
pedoman dan falsafah aliran-aliran kebatinan.[13]
Hidup berolah
batin merupakan salah satu sikap hidup orang Jawa atau sebagai hidup
kerohanian. Kebatinan memang berarti berolah batin atau berolah rasa, dengan
maksud agar hidup manusia sesuai dengan prinsip hidup yang diterima dan dirasa
oleh hati, berdoalah batin atau berolah rasa inilah yang menjadi inti atau
hakekat spiritualitas Jawa, namun demikian pengalaman-pengalaman yang diperoleh
oleh para penempuh spiritualitas Jawa berbeda-beda dalam mengekspresikannya.
Puncak penghayatan dan penerimaan akan apa yang diusahakan dalam laku olah
batin itu meliputi :
a.
Okultisme
Bagi para
penempuh jalan mistik yang telah mencapai pada taraf tertentu, maka ia akan
memiliki kekuatan-kekuatan ghaib (supernatural) yang tidak dimiliki oleh orang
biasa. Kekuatan ghaib tersebut dapat digunakan untuk melayani keperluan hidup
manusia, seperti pengobatan, perlindungan, peramalan. Hakekat mistik semacam
ini disebut “science occultes” atau “occultisme”.[14]
Kebatinan
meliputi ilmu ghaib, ilmu sihir, baik yang hitam maupun yang putih. Metaphisika
yang dipraktekkan dalam hidup dan segala macam perbuatan dan pengetahuan ghaib.
Occulte berarti cache atau sacret, artinya
tersembunyi atau rahasia, dipakai untuk menunjukkan kekuatan materiil dan
spiritual yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Kekuatan tersebut juga
tidak dapat diselidiki operasi-operasi yang menggerakannya.
Gaya hidup
orang Jawa yang cenderung pada kebatinan sebagai budaya untuk mengatasi alam
material dengan kekuatan ghaib (okultis). Percaya adanya ramalan-ramalan,
kemungkinan lambang-lambang, kesaktian barang-barang keramat dan makam-makam.
Sikap hidup semacam ini hampir ada di semua daerah Jawa, lebih–lebih di Jawa
Tengah terutama daerah lingkungan istana (Solo dan Yogyakarta) dan daerah
disekitarnya.
Kebatinan yang
mengutamakan pada pencapaian daya ghaib, okultisme, biasanya dengan melakukan
berbagai macam upacara seremonial. Menyediakan sesaji untuk para penghuni alam
ghaib, melalui hirarki, roh-roh, dewa-dewa, setan-setan, malaikat-malaikat, dan
para leluhur. Sesaji ini sebagai perantara untuk mengadakan kontak dengan alam
ghaib, memohon keberkatan dan memperoleh kekuatan (kesaktian).
Okultis
(kekuatan ghaib) akan diperoleh seseorang setelah orang itu melakukan berbagai
macam syarat, tapa brata dan berbagai laku keprihatinan. Menghayati ketuhanan,
menghilangkan rasa diri “keakuannya”, dengan jalan mengekang hawa nafsu dan
kebutuhan-kebutuhan hidup alamiahnya. Okultis digunakan sebagai bukti bahwa
seseorang telah berhasil mencapai penghayatan Tuhan, melakukan kontak hubungan
dengan Yang Maha Kuasa, dengan menunjukkan kekuatan-kekuatan material dan
spiritual untuk mengatasi permasalahan hidup.
b.
Manunggaling
Kawula Gusti
Para penganut
kebatinan mengakui bahwa tujuan tertinggi dalam penghayatan mereka adalah
mencapai kesatuan dengan realitas tertinggi (Tuhan). Oleh sebab itu golongan
kebatinan berusaha mencapai tujuan utamanya, bersatu dengan Tuhan (Jumbuh),
mempersatukan jiwa manusia dengan dzat Tuhan melalui latihan-latihan rohani.
Latihan rohani yang dapat menghantarkan manusia pada persatuan dengan Tuhan
antara lain seperti “mati sajroning urip” (merasakan hidup
baka sebelum mati). Golongan yang menempuh jalan mistik ini disebut dengan
Mysticisme atau ahli mistik.[15]
Manunggaling
Kawula-gusti yang menjadi tujuan tertinggi pengamal kebatinan merupakan upaya
yang harus dicapai manusia untuk memperoleh kenyataan Tuhan. Jalan mencapai
penghayatan tersebut melalui “manekung amuntu samadhi”, yaitu
membaca rumusan kata-kata yang dianggap memiliki daya magis, yang mampu
menyatukan jiwa manusia dengan zat Tuhan.[16]
Kesatuan yang dicapai dalam bentuk “zat Tuhan meliputi manusia”, ibarat zat
Tuhan sebagai air samudra sedangkan manusia adalah setitik air di dalamnya.[17]
Manusia di
dunia dinyatakan sebagai sifat Tuhan, di akhirat atau sesudah mati, melalui
penghayatan ghaib akan kembali menjadi zat Tuhan. Kadangkala ada juga paham
yang mengakui kalau manusia itu sebagai hamba yang berbeda dengan Tuhan.
Ungkapan-ungkapan yang sering digunakan untuk menggambarkan persatuan manusia
dengan Tuhan seperti “curiga manjing ing warangka”, yakni
manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam badan Dewa Ruci.
Istilah lain“warangka manjing curiga”, yakni Tuhan nitis (masuk)
dalam diri manusia, seperti Dewa Wisnu nitis dalam diri Sri Kresna.
Ada istilah
lain untuk menggambarkan kesatuan manusia dengan Tuhan, dalam Wirid Hidayat
Jati-nya Rangga Warsito menggunakan istilah “kumpul” (angumpulaken
kawula Gusti). Ungkapan lain yang juga sering digunakan adalah “pamoring
kawula Gusti”, yang menunjukkan adanya dua hal yang berpadu menjadi satu,
atau berbeda bersama dalam suatu tempat.[18]
c.
Sangkan
Paraning Dumadi
Penganut
kebatinan yang mencoba memperoleh penghayatan hakekat Tuhan sebagai sesuatu
yang nyata di dunia ini, dengan mengetahui siapa sebenarnya manusia itu
(hakekat manusia). Dari mana manusia itu berasal dan akan kemana setelah
manusia hidup di dunia ini. Golongan semacam ini berusaha mencapai pemahaman
hakekat manusia dan dengan pemahaman tersebut akan didapatkan hakekat Tuhan,
golongan ini biasa menyebut pengetahuan tersebut dengan istilah “Sangkan
Paraning Dumadi”. H.M. Rosjidi menyebut golongan kebatinan ini dengan ahli
Methaphysic.[19]
Para ahli methapisic berusaha mengenal Tuhan dan menembus alam rahasia, sampai
pada penghayatan dari mana asal hidup manusia itu, dan akan kemana hidup itu
akhirnya pergi (kembali).
Hakekat mistik
Jawa (kebatinan) yang berupaya mencapai pengetahuan sangkan paraning dumadi ini
lebih jelas di dalam karya Ranggawarsito, Serat Wirid Hidayat Jati. Konsep
manusia dalam Serat Wirid diterangkan, bahwa hakekat manusia itu berasala dari
Hayyu (atma). Hayyu ini berada di dalam jasad yang diliputi oleh lima
macam muddah (Nur, Rahsa, Ruh, Nafsu, Budi). Badan terdiri
dari empat anasir, yaitu : api, air, tanah dan angin. Jasad dikuasai oleh akal
(budi), nafsu dikuasai oleh sukma. Sukma dikuasai oleh rahsa, rahsa dikuasai
oleh cahaya (nur). Cahaya dikuasai oleh Hayyu (atma), hayyu dikuasai oleh Dzat
yang Maha Suci. Hayyu mendapat penyerahan kekuasaan dari Dzat yang Maha Suci
untuk menghidupi seluruh anggota badan, termasuk ruh, hayyu adalah pembawa
kehidupan manusia.[20]
Tujuan hidup
manusia harus berusaha untuk dapat bersatu dengan Tuhan, kesatuan itu dapat
dicapai ketika manusia berada di dunia melalui perjalanan spiritual. Setelah
hidup di dunianya mampu melakukan kontak dengan Tuhan, maka kesatuan yang
sebenarnya akan dapat tercapai setelah manusia itu mengalami mati. Mati
merupakan langkah awal dari persatuan manusia dengan Tuhannya secara hakiki.
Menurut
Ranggawarsito manusia berasal dari nur (cahaya) Tuhan yang ghaib, yang
terkurung oleh badan wadag yang tersusun atas empat anasir (air, api, tanah,
angin). Badan wadag setelah meninggal, tidak akan dapat bersatu kembali kepada
zat asal Tuhan apabila semasa hidup di dunia tidak dibekali dengan pengetahuan
akan Tuhan, pengetahuan tentang Tuhan inilah yang merupakan sangkan peran (asal
mula) hidup mansuia, atau dalam istilah tasawuf disebut “Hakekatul Ilahiah”.[21]
Ilmu Sangkan
Paran ini dimaksudkan agar manusia setelah mati ruhnya tidak tersesat ke alam
rendah (alam binatang), tetapi dapat bersatu dengan zat Tuhan kembali.
Bersatunya kembali sifat Tuhan dalam diri manusia dengan zat Tuhan inilah yang
disebut dengan ”kasampurnan” (kesempurnaan). Ngelmu sangkan paran tersebut
harus dimiliki oleh manusia agar setelah mati dapat tercapai persatuan
(manunggal) dengan Tuhan, tercapai kesempurnaan hidup.
3.
Metode Spiritualitas
Jawa
Kebatinan
memang mengutamakan hal-hal yang bersifat abstrak berusaha untuk mencapai
pemahaman yang mutlak, kembali bersatu dengan Tuhan. Melalui berbagai macam
latihan rohan dan laku keprihatinan, agar manusia dapat mencapai tujuan atau
hakekat mistik (kebatinan) tersebut. Manusia agar memperoleh kesempurnaan,
bersatu dengan Tuhan, haruslah berusaha dahulu semasa hidup di dunia,
merealisasikan sifat-sifat yang mutlak ke dalam hidup di dunia.
Kebatinan
mengandaikan adanya ruang hidup yang kekal. Disitulah terdapat kenyataan
mutlak, latar belakang terakhir dan definisikan dari segala apa yang bersifat
sementara, tidak tetap atau semu. Seluruh alam kodrat dengan segala daya –
tenaganya hadir secara immanent di dalam batin itu dalam wujud kesatuan tanpa
batas antara masing-masing bentuk. Bagi para penganut kebatinan bila ingin
mengaktivir daya batinnya maka harus dengan olah rasa atau samadhi, yang dapat
membebaskan diri dari prasangka tentang keanekaan bentuk-bentuk (mengekang
keinginan duniawi). Dalam olah batin atau samadhi tersebut, seseorang dapat
melakukan kontak dengan alam ghaib, sehingga manusia menyadari diri sebagai
satu-dalam-semua dan semua-dalam-satu, selanjutnya ia menerima kekuasan atas
daya ghaib dalam kosmos.[22]
Untuk dapat
mencapai tujuan mistik tersebut, dari pencapaian daya gaib sampai menyatu
dengan Tuhan, maka tiap-tiap penempuh jalan mistik harus melewati tahap demi
tahap, anak tangga itu ialah :[23]
a.
Pengintegrasian
diri
Unsur ini
merupakan anak tangga pertama yang harus dilalui oleh pengikut kebatinan. Pada
tahap ini, manusia harus berusaha memusatkan seluruh tenaga pada sentrum batin,
dimana dianggap sebagai “aku” yang sebenarnya dari diri manusia (hakekat
manusia). Tahap ini didahului dengan upaya menghilangkan rasa “keakuannya”
(ego), dengan jalan mengekang nafsu-nafsu dan kebutuhan hidup alaminya.
b.
Transformasi
Pada tahap
transformasi ini, seorang mistikus sudah memiliki kemampuan yang lebih tinggi
dibanding dengan taraf-taraf sebelumnya. Tahapan ini ditandai dengan adanya
kemampuan seorang mistikus untuk bersatud engan dzat yang lebih tinggi. Manusia
atau lebih tepatnya seorang mistikus yang telah mencapai taraf kesatuan
tersebut dapat berbentuk kesatuan etis, kesatuan kosmis, atau kesatuan yang
bersifat Pantheistis.
Kesatuan Ethis,
dalam kesatuan ini akan tercetak manusia yang berbudi luhur, karena sang
mistikus merasa telah mampu mentransformasi sifat-sifat kebaikan dari sang
Sumber Kebajikan. Nilai-nilai kebaikan mampu diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga orang yang sudah mampu mencapai kesadaran ini akan
berbudi luhur berakhlak mulia.
Kesatuan
Kosmis, dalam kesatuan ini rasa diri manusia lebur, karena sudah ditekan oleh
kesatuan alam atau jiwa alam. Dalam tahap kesatuan kosmis, kesadaran diri manusia
sebagai bagian kosmis (mikrokosmos) telah menyatu dengan makrokosmos (alam
semesta). Kesadaran terhadap kosmis ini akan melahirkan perilaku damai, cinta
kasih terhadap semua makhluk, ramah terhadap lingkungan, menjaga keselarasan
alam. Sikap kesadaran kosmis orang Jawa ini mewarnai pola pikir dan
tindakannya, sehingga melahirkan kepercayaan atau keyakinan bahwa salah satu
tugas manusia hidup di dunia adalah “memayu hayuning bawana” (menjaga
keselarasan alam).
Kesatuan yang
bersifat Pantheistis, kesatuan ini sebenarnya sama seperti dengan kesatuan
kosmis, hanya saja jiwa kosmis diganti dengan istilah Tuhan. Dalam kesatuan ini
terbentuklah apa yang dinamakan dengan manuggaling kawula-Gusti. Manusia
penempuh jalan mistik jika mampu mencapai kesadran pantheistis ini, merasa
begitu dekat, begitu akrab dengan dengan Tuhan, bahkan merasa bahwa Tuhan telah
menyatu dengannya. Menyatu dalam arti ruhani, sehingga setiap ucapan dan
perilaku yang nampak ke permukaan adalah cerminan dari sifat dan kehendak Tuhan
itu sendiri.
c.
Partisipasi
dengan daya ghaib
Manusia apabila
mampu melewati beberapa anak tangga msitik tersebut, maka ia akan memperoleh
daya ghaib yang luar biasa (okultis). Daya ghaib diperoleh manusia sebagai
bukti, jika ia telah mampu berhubungan atau bahkan bersatu dengan kosmis,
dengan Tuhan. Melalui kekuatan daya ghaib tersebut manusia dapat melakukan
hal-hal luar biasa yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa, untuk
mengatasi permasalahan hidup (alam materi). Kekuatan supranatural yang dimiliki
oleh para penempuh jalan mistik tersebut dapat berupa kemampuan menyembuhkan
penyakit, mengusir jin atau setan yang mengganggu, memberi berkah, bahkan
mengetahui hal-hal yang belum terjadi (weruh sadurunge winarah).
Itulah spektrum
luas dari anak tangga yang harus dijalankan oleh penempuh jalan mistik
(kebatinan). Adakalanya penempuh jalan mistik itu sampai akhir, ada pula yang
mencukupkan pada anak tangga pertama atau kedua saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sahidah, “Pandangan Robert N. Bellah Tentang Agama Sipil
(Telaah Agama Di AMerika Serikat)”, Thesis, Program Studi Agama Dan
Filsafat Pascasarjana UIN (2003)
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta
: PT. Hindita Graha Widya, 2000
H. M. Rasjidi,
Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal; Peran Agama dalam Proses
Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, Vol. II, No. 2, Juli
2003
K.
J. Veeger, Ilmu Budaya Dasar; Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1992
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta : Balai Pustaka, 1990
Rafael
Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, Jakarta
: PT. Rineka Cipta, 2000
Rahmat Subagya, Kepercayaan dan
Agama, Kebatinan, Kerohanian, kejiwaan, Cet. XI, Yogyakarta : Kanisius, 1995
Samidi Khalim, Islam dan
Spiritualitas Jawa, Semarang : Rasail Media Group, 2008
Simuh, Sufisme Jawa-Transformasi
Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta : Bentang, 2002
Warsito, Disekitar Kebatinan, Jakarta
: Bulan Bintang, 1973
[1] Rafael Raga
Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta
: PT. Rineka Cipta, 2000), hal. 15-18
[2]
K. J. Veeger, Ilmu
Budaya Dasar; Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1992), hal. 5-7
[3]
Budiono
Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta : PT. Hindita
Graha Widya, 2000), hal. 7
[4]
Ahmad Sahidah,
“Pandangan Robert N. Bellah Tentang Agama Sipil (Telaah Agama Di AMerika Serikat)”,
Thesis, Program Studi Agama Dan Filsafat Pascasarjana UIN (2003), hal.
26.
[5]
Agama berfungsi
mengajar dan membimbing manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi,
termasuk masalah makna dan tujuan hidup manusia.
[6]
Agama berfungsi
memberikan kebutuhan manusia akan keselamatan dan kebahagiaan di kehidupan
sekarang maupun sesudah mati, melalui ajaran-ajaran agamanya. Sangat manusiawi
sekali jika manusia pada tahap tertentu mendambakan kebahagiaan, dimana
kebahagiaan itu hanya dapat terpenuhi melalui agama.
[7]
Agama juga ikut
berperan sebagai pengontrol jalannya tata susila atau norma-norma dalam
masyarakat. Disini agama akan member nilai pada suatu perbuatan individu atau
klompok dalam masyarakat.
[8]
Agama berperan
menumbuhkan nilai solidaritas atau persaudaraan dalam suatu agama. Meskipun
dalam dataran realitas hal ini akan
menimbulkan dampak positif dan negative. Dampak positifnya, solidaritas dalam
suatu kelompok akan sangat kuat. Sementara dampak negatifnya, sikap
eksklusivisme yang sering kali melihat sebelah mata pada kelompok lain.
[9]
Irfanul
Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal; Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya
Lokal”, dalam Jurnal Religi, Vol. II, No. 2, Juli 2003, hal. 137-138.
[10]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990),
hal. 660
[12]
Warsito, Disekitar Kebatinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973),
hal. 19
[13]
H. M. Rasjidi, Islam…, hal. 65
[14]
Ibid., hal. 53
[15]
Ibid., hal. 53
[16]
Simuh, Sufisme Jawa-Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa.
(Yogyakarta : Bentang, 2002), hal.289
[17]
Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa, (Semarang : Rasail
Media Group, 2008), hal. 27
[18]
Simuh, Sufisme…, hal.289
[19]
H. M. Rasjidi, Islam…, hal. 53
[20]
Simuh, Sufisme.., hal.218
[21]
Ibid., hal. 229
[22]
Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kebatinan, Kerohanian,
kejiwaan, Cet. XI, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hal. 43
[23]
Ibid., hal. 257
KISAH CERITA AYAH SAYA SEMBUH BERKAT BANTUAN ABAH HJ MALIK IBRAHIM
ReplyDeleteAssalamualaikum saya atas nama Rany anak dari bapak Bambang saya ingin berbagi cerita masalah penyakit yang di derita ayah saya, ayah saya sudah 5 tahun menderita penyakit aneh yang tidak masuk akal, bahkan ayah saya tidak aktif kerja selama 5 tahun gara gara penyakit yang di deritanya, singkat cerita suatu hari waktu itu saya bermain di rmh temen saya dan kebetulan saya ada waktu itu di saat proses pengobatan ibu temen saya lewat HP , percaya nda percaya subahana lah di hari itu juga mama temen saya langsung berjalan yang dulu'nya cuma duduk di kursi rodah selama 3 tahun,singkat cerita semua orang yang waktu itu menyaksikan pengobatan bapak kyai hj Malik lewat ponsel, betul betul kaget karena mama temen saya langsung berjalan setelah di sampaikan kepada hj Malik untuk berjalan,subahanallah, dan saya juga memberanikan diri meminta no hp bapak kyai hj malik, dan sesampainya saya di rmh saya juga memberanikan diri untuk menghubungi kyai hj Malik dan menyampaikan penyakit yang di derita ayah saya, dan setelah saya melakukan apa yang di perintahkan sama BPK kyai hj Malik, 1 jam kemudian Alhamdulillah bapak saya juga langsung sembuh dari penyakitnya lewat doa bapak kyai hj Malik kepada Allah subahanallah wataala ,Alhamdulillah berkat bantuan bpk ustad kyai hj Malik sekarang ayah saya sudah sembuh dari penyakit yang di deritanya selama 5 tahun, bagi saudara/i yang mau di bantu penyembuhan masalah penyakit gaib non gaib anda bisa konsultasi langsung kepada bapak kyai hj Malik no hp WA beliau 0823-5240-6469 semoga lewat bantuan beliau anda bisa terbebas dari penyakit anda. Terima kasih