Thursday, 26 March 2015

NILAI SEPIRITUAL MASYARAKAT JAWA

NILAI SPIRITUAL MASYARAKAT JAWA
(Studi Tentang Etika Jawa)

Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pengembangan Pendidikan Akhlak yang diampu oleh Prof. Dr. H. Amin Syukur. M.A.




Oleh : Nur Sachidin



MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2013
NILAI SPIRITUAL MASYARAKAT JAWA
(Studi Tentang Etika Jawa)
Oleh : Nur Sachidin


A.    PENDAHULUAN
Dewasa ini mayoritas masyarakat kurang peduli dengan masalah spiritualisme, masyarakat lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau materi. Dimana-mana orang berlomba untuk mengejar kekayaan materi sebanyak-banyaknya. Sampai akhirnya terjadi kekacauan yang disebabkan oleh orang-orang tamak yang suka menindas orang lain. Di dalam pemerintahan terjadi berbagai macam tindak korupsi yang merugikan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, korupsi ini sudah merambah ke berbagai sektor pemerintahan, mulai dari birokrasi, peradilan, bahkan hingga ke pendidikan. Tindak korupsi pun tidak mengenal tingkatan pemerintahan, tidak hanya mewabahi para pejabat yang berada di pemerintah pusat yang mencuri triliunan rupiah uang rakyat, korupsi juga terjadi bahkan sampai di tingkatan pemerintahan yang paling rendah. Seakan mereka lupa bahwa ada Tuhan yang selalu mengawasi mereka, dan mereka juga seakan lupa bahwa kelak mereka akan mati dan meninggalkan harta yang mereka kumpulkan.
Hal ini disebabkan oleh semakin berkurangnya kesadaran diri mayoritas masyarakat di zaman sekarang, tanpa kesadaran diri ini manusia akan mudah dipengaruhi oleh syahwatnya, dan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Hal ini sangat memprihatinkan, dan apabila hal ini berkelanjutan maka bukan tidak mungkin tatanan masyarakat kita akan semakin kacau dan hukum rimba akan kembali berlaku di dalam masyarakat kita.
Masyarakat jawa di tengah derasnya arus perubahan ini diharapkan tetap mampu mempertahankan keluhuran budaya spiritualnya. Kebudayaan spiritualisme masyarakat jawa ini sangatlah sesuai untuk menghadapi derasnya perkembangan yang semakin menggerus nilai-nilai kemasyarakatan. Seandainya masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat jawa pada khususnya tetap mempertahankan nilai luhur spiritualisme jawa, maka bisa dipastikan akan tercipta sebuah peradaban yang tinggi dan mulia.

B.     PEMBAHASAN
1.      Manusia, Budaya dan Spiritualitas
Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Eksistensi manusia di dunia ditandai dengan tiada henti-hentinya berupaya untuk menjadi manusia. Upaya ini berlangsung dalam dunia ciptaannya sendiri, yakni kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia sendiri adalah produk kebudayaannya. Kebudayaan menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia. Seluruh tata bangunan hidup manusia dan masyarakat berdiri diatas landasan kebudayaan. Jadi, kebudayaan adalah suatu dunia yang pada dasarnya ditandai dengan dinamika kebebasan dan kreativitas.[1] Manusia tanpa kebudayaan merupakan makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi korban dari keadaannya yang tidak lengkap dari naluri-nalurinya yang tidak terpadu dan menghancurkan.[2] Kebudayaan merupakan ukuran bagi tingkah laku dan kehidupan manusia. Kebudayaan menyimpan nilai-nilai bagaimana tanggapan manusia terhadap dunia, lingkungan, masyarakatnya dan juga seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok bagi penentuan sikap terhadap dunia luar, bahkan menjadi dasar setiap langkah yang dilakukan.[3]
Selain itu, cara lain untuk menegaskan hakikat manusia adalah dengan mengatakan bahwa kita adalah binatang religius. Antropolog R. R. Marrett yang pertama kali menegaskan bahwa homo sapiens lebih baik disebut dengan homo religious. Bagi antropolog lain seperti Clyde Kluckhon, bahwa tidak ada kelompok manusia tanpa agama. Sejarawan besar Mirecia Eliade mengemukakan sebuah pandangan yang diterima umum ketika dia mengatakan bahwa yang suci adalah sebuah unsur di dalam struktur kesadaran dan bukan sebuah tahap dalam sejarah kesadaran. Rudolf Otto bahkan mengatakan bahwa ide tentang yang suci adalah apriori, batiniah dalam akal manusia.[4]
Agama memiliki banyak fungsi dalam masyarakat, antara lain fungsi edukatif,[5] penyelamatan,[6] pengawasan social,[7] memupuk persaudaraan,[8] dan fungsi transformatif. Fungsi yang terakhir ini merupakan bentuk fungsi yang berbeda dari fungsi-fungsi lain. Karena fungsi transformatifberarti agama melakukan perubahan dalam masyarakat. Dengan kata lain, agama membuat perubahan bentuk kehidupan masyarakat lama ke dalam bentuk kehidupan masyarakat baru.[9]
2.      Spiritualitas Jawa
Pengertian Spiritualitas Jawa lebih dikenal dengan kebatinan, atau kebatinan Jawa. Kata kebatinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mempunyai akar kata “batin” (arab), yang artinya di dalam, bagian dalam kata batin mendapat afiks ke-an, menjadi “kebatinan”, yang artinya bagian tertutup di dalam. Sedangkan secara harfiah, kebatinan adalah sesuatu yang tersembunyi, kebenaran di balik kebenaran atau kebenaran yang terdalam.[10] Menurut H.M. Rasyidi kebatinan merupakan salinan yang wajar dari (letterlijk) dari kata arab “bathiniyah”, atau merupakan salinan dari perkataan “Occultisme”, yang artinya tersembunyi dan rahasia.[11]
Spiritualitas Jawa lebih merupakan sikap hidup keagamaan orang Jawa, karena kenyataannya dalam praktek kehidupan sehari-hari menjadi semacam agama orang Jawa. Kepercayaan orang Jawa yang banyak dijumpai di lingkungan istana (kerajaan) khususnya, terlihat banyak yang bersendikan nilai-nilai agama. Pola hidup spiritual telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, sehingga menjadi bentuk kepercayaan masyarakat.
Dengan demikian, secara historis spiritualitas Jawa (kebatinan) diartikan sebagai kebudayaan spiritual dari Keraton Jawa, yang berasal dari zaman yang sudah tua dan telah mengalami perkembangan yang sangat unik pula, “Agama ageming Aji, Kawruh kawruhing Ratu”[12]
Untuk lebih jauh memahami spiritualitas Jawa (kebatinan) yang merupakan sikap keagamaan masyarakat Jawa akan lebih jelas bila diungkapkan tentang hakekat spiritualitas Jawa itu sendiri. Menurut De Jong spiritualitas jawa itu tidak berdasar pada doktrin tertentu, namun demikian dalam aliran yang beraneka ragam terdapat penekanan-penekanan yang sama. Pandangan tentang konsep manusia, kesatuan dan perkembangannya terdapat kesamaan. Para penganut kebatinan dituntut untuk menjadi manusia yang “Sepi ing Pamrih, rame ing gawe” dan ikut “memayu hayuning Bawana”(Banyak bekerja bhakti dengan tanpa mementingkan keuntungan pribadi dan ikut membentuk dunia yang indah dan makmur), inilah yang menjadi pedoman dan falsafah aliran-aliran kebatinan.[13]
Hidup berolah batin merupakan salah satu sikap hidup orang Jawa atau sebagai hidup kerohanian. Kebatinan memang berarti berolah batin atau berolah rasa, dengan maksud agar hidup manusia sesuai dengan prinsip hidup yang diterima dan dirasa oleh hati, berdoalah batin atau berolah rasa inilah yang menjadi inti atau hakekat spiritualitas Jawa, namun demikian pengalaman-pengalaman yang diperoleh oleh para penempuh spiritualitas Jawa berbeda-beda dalam mengekspresikannya. Puncak penghayatan dan penerimaan akan apa yang diusahakan dalam laku olah batin itu meliputi :
a.       Okultisme
Bagi para penempuh jalan mistik yang telah mencapai pada taraf tertentu, maka ia akan memiliki kekuatan-kekuatan ghaib (supernatural) yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Kekuatan ghaib tersebut dapat digunakan untuk melayani keperluan hidup manusia, seperti pengobatan, perlindungan, peramalan. Hakekat mistik semacam ini disebut “science occultes” atau “occultisme”.[14] 
Kebatinan meliputi ilmu ghaib, ilmu sihir, baik yang hitam maupun yang putih. Metaphisika yang dipraktekkan dalam hidup dan segala macam perbuatan dan pengetahuan ghaib. Occulte berarti cache atau sacret, artinya tersembunyi atau rahasia, dipakai untuk menunjukkan kekuatan materiil dan spiritual yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Kekuatan tersebut juga tidak dapat diselidiki operasi-operasi yang menggerakannya.
Gaya hidup orang Jawa yang cenderung pada kebatinan sebagai budaya untuk mengatasi alam material dengan kekuatan ghaib (okultis). Percaya adanya ramalan-ramalan, kemungkinan lambang-lambang, kesaktian barang-barang keramat dan makam-makam. Sikap hidup semacam ini hampir ada di semua daerah Jawa, lebih–lebih di Jawa Tengah terutama daerah lingkungan istana (Solo dan Yogyakarta) dan daerah disekitarnya.
Kebatinan yang mengutamakan pada pencapaian daya ghaib, okultisme, biasanya dengan melakukan berbagai macam upacara seremonial. Menyediakan sesaji untuk para penghuni alam ghaib, melalui hirarki, roh-roh, dewa-dewa, setan-setan, malaikat-malaikat, dan para leluhur. Sesaji ini sebagai perantara untuk mengadakan kontak dengan alam ghaib, memohon keberkatan dan memperoleh kekuatan (kesaktian).
Okultis (kekuatan ghaib) akan diperoleh seseorang setelah orang itu melakukan berbagai macam syarat, tapa brata dan berbagai laku keprihatinan. Menghayati ketuhanan, menghilangkan rasa diri “keakuannya”, dengan jalan mengekang hawa nafsu dan kebutuhan-kebutuhan hidup alamiahnya. Okultis digunakan sebagai bukti bahwa seseorang telah berhasil mencapai penghayatan Tuhan, melakukan kontak hubungan dengan Yang Maha Kuasa, dengan menunjukkan kekuatan-kekuatan material dan spiritual untuk mengatasi permasalahan hidup.
b.      Manunggaling Kawula Gusti
Para penganut kebatinan mengakui bahwa tujuan tertinggi dalam penghayatan mereka adalah mencapai kesatuan dengan realitas tertinggi (Tuhan). Oleh sebab itu golongan kebatinan berusaha mencapai tujuan utamanya, bersatu dengan Tuhan (Jumbuh), mempersatukan jiwa manusia dengan dzat Tuhan melalui latihan-latihan rohani. Latihan rohani yang dapat menghantarkan manusia pada persatuan dengan Tuhan antara lain seperti “mati sajroning urip” (merasakan hidup baka sebelum mati). Golongan yang menempuh jalan mistik ini disebut dengan Mysticisme atau ahli mistik.[15]
Manunggaling Kawula-gusti yang menjadi tujuan tertinggi pengamal kebatinan merupakan upaya yang harus dicapai manusia untuk memperoleh kenyataan Tuhan. Jalan mencapai penghayatan tersebut melalui “manekung amuntu samadhi”, yaitu membaca rumusan kata-kata yang dianggap memiliki daya magis, yang mampu menyatukan jiwa manusia dengan zat Tuhan.[16] Kesatuan yang dicapai dalam bentuk “zat Tuhan meliputi manusia”, ibarat zat Tuhan sebagai air samudra sedangkan manusia adalah setitik air di dalamnya.[17]
Manusia di dunia dinyatakan sebagai sifat Tuhan, di akhirat atau sesudah mati, melalui penghayatan ghaib akan kembali menjadi zat Tuhan. Kadangkala ada juga paham yang mengakui kalau manusia itu sebagai hamba yang berbeda dengan Tuhan. Ungkapan-ungkapan yang sering digunakan untuk menggambarkan persatuan manusia dengan Tuhan seperti “curiga manjing ing warangka”, yakni manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam badan Dewa Ruci. Istilah lain“warangka manjing curiga”, yakni Tuhan nitis (masuk) dalam diri manusia, seperti Dewa Wisnu nitis dalam diri Sri Kresna.
Ada istilah lain untuk menggambarkan kesatuan manusia dengan Tuhan, dalam Wirid Hidayat Jati-nya Rangga Warsito menggunakan istilah “kumpul” (angumpulaken kawula Gusti). Ungkapan lain yang juga sering digunakan adalah “pamoring kawula Gusti”, yang menunjukkan adanya dua hal yang berpadu menjadi satu, atau berbeda bersama dalam suatu tempat.[18]
c.       Sangkan Paraning Dumadi
Penganut kebatinan yang mencoba memperoleh penghayatan hakekat Tuhan sebagai sesuatu yang nyata di dunia ini, dengan mengetahui siapa sebenarnya manusia itu (hakekat manusia). Dari mana manusia itu berasal dan akan kemana setelah manusia hidup di dunia ini. Golongan semacam ini berusaha mencapai pemahaman hakekat manusia dan dengan pemahaman tersebut akan didapatkan hakekat Tuhan, golongan ini biasa menyebut pengetahuan tersebut dengan istilah “Sangkan Paraning Dumadi”. H.M. Rosjidi menyebut golongan kebatinan ini dengan ahli Methaphysic.[19] Para ahli methapisic berusaha mengenal Tuhan dan menembus alam rahasia, sampai pada penghayatan dari mana asal hidup manusia itu, dan akan kemana hidup itu akhirnya pergi (kembali).
Hakekat mistik Jawa (kebatinan) yang berupaya mencapai pengetahuan sangkan paraning dumadi ini lebih jelas di dalam karya Ranggawarsito, Serat Wirid Hidayat Jati. Konsep manusia dalam Serat Wirid diterangkan, bahwa hakekat manusia itu berasala dari Hayyu (atma). Hayyu ini berada di dalam jasad yang diliputi oleh lima macam muddah (Nur, Rahsa, Ruh, Nafsu, Budi). Badan terdiri dari empat anasir, yaitu : api, air, tanah dan angin. Jasad dikuasai oleh akal (budi), nafsu dikuasai oleh sukma. Sukma dikuasai oleh rahsa, rahsa dikuasai oleh cahaya (nur). Cahaya dikuasai oleh Hayyu (atma), hayyu dikuasai oleh Dzat yang Maha Suci. Hayyu mendapat penyerahan kekuasaan dari Dzat yang Maha Suci untuk menghidupi seluruh anggota badan, termasuk ruh, hayyu adalah pembawa kehidupan manusia.[20]
Tujuan hidup manusia harus berusaha untuk dapat bersatu dengan Tuhan, kesatuan itu dapat dicapai ketika manusia berada di dunia melalui perjalanan spiritual. Setelah hidup di dunianya mampu melakukan kontak dengan Tuhan, maka kesatuan yang sebenarnya akan dapat tercapai setelah manusia itu mengalami mati. Mati merupakan langkah awal dari persatuan manusia dengan Tuhannya secara hakiki.
Menurut Ranggawarsito manusia berasal dari nur (cahaya) Tuhan yang ghaib, yang terkurung oleh badan wadag yang tersusun atas empat anasir (air, api, tanah, angin). Badan wadag setelah meninggal, tidak akan dapat bersatu kembali kepada zat asal Tuhan apabila semasa hidup di dunia tidak dibekali dengan pengetahuan akan Tuhan, pengetahuan tentang Tuhan inilah yang merupakan sangkan peran (asal mula) hidup mansuia, atau dalam istilah tasawuf disebut “Hakekatul Ilahiah”.[21]
Ilmu Sangkan Paran ini dimaksudkan agar manusia setelah mati ruhnya tidak tersesat ke alam rendah (alam binatang), tetapi dapat bersatu dengan zat Tuhan kembali. Bersatunya kembali sifat Tuhan dalam diri manusia dengan zat Tuhan inilah yang disebut dengan ”kasampurnan” (kesempurnaan). Ngelmu sangkan paran tersebut harus dimiliki oleh manusia agar setelah mati dapat tercapai persatuan (manunggal) dengan Tuhan, tercapai kesempurnaan hidup.
3.      Metode Spiritualitas Jawa
Kebatinan memang mengutamakan hal-hal yang bersifat abstrak berusaha untuk mencapai pemahaman yang mutlak, kembali bersatu dengan Tuhan. Melalui berbagai macam latihan rohan dan laku keprihatinan, agar manusia dapat mencapai tujuan atau hakekat mistik (kebatinan) tersebut. Manusia agar memperoleh kesempurnaan, bersatu dengan Tuhan, haruslah berusaha dahulu semasa hidup di dunia, merealisasikan sifat-sifat yang mutlak ke dalam hidup di dunia.
Kebatinan mengandaikan adanya ruang hidup yang kekal. Disitulah terdapat kenyataan mutlak, latar belakang terakhir dan definisikan dari segala apa yang bersifat sementara, tidak tetap atau semu. Seluruh alam kodrat dengan segala daya – tenaganya hadir secara immanent di dalam batin itu dalam wujud kesatuan tanpa batas antara masing-masing bentuk. Bagi para penganut kebatinan bila ingin mengaktivir daya batinnya maka harus dengan olah rasa atau samadhi, yang dapat membebaskan diri dari prasangka tentang keanekaan bentuk-bentuk (mengekang keinginan duniawi). Dalam olah batin atau samadhi tersebut, seseorang dapat melakukan kontak dengan alam ghaib, sehingga manusia menyadari diri sebagai satu-dalam-semua dan semua-dalam-satu, selanjutnya ia menerima kekuasan atas daya ghaib dalam kosmos.[22]
Untuk dapat mencapai tujuan mistik tersebut, dari pencapaian daya gaib sampai menyatu dengan Tuhan, maka tiap-tiap penempuh jalan mistik harus melewati tahap demi tahap, anak tangga itu ialah :[23]
a.       Pengintegrasian diri
Unsur ini merupakan anak tangga pertama yang harus dilalui oleh pengikut kebatinan. Pada tahap ini, manusia harus berusaha memusatkan seluruh tenaga pada sentrum batin, dimana dianggap sebagai “aku” yang sebenarnya dari diri manusia (hakekat manusia). Tahap ini didahului dengan upaya menghilangkan rasa “keakuannya” (ego), dengan jalan mengekang nafsu-nafsu dan kebutuhan hidup alaminya.
b.      Transformasi
Pada tahap transformasi ini, seorang mistikus sudah memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibanding dengan taraf-taraf sebelumnya. Tahapan ini ditandai dengan adanya kemampuan seorang mistikus untuk bersatud engan dzat yang lebih tinggi. Manusia atau lebih tepatnya seorang mistikus yang telah mencapai taraf kesatuan tersebut dapat berbentuk kesatuan etis, kesatuan kosmis, atau kesatuan yang bersifat Pantheistis.
Kesatuan Ethis, dalam kesatuan ini akan tercetak manusia yang berbudi luhur, karena sang mistikus merasa telah mampu mentransformasi sifat-sifat kebaikan dari sang Sumber Kebajikan. Nilai-nilai kebaikan mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga orang yang sudah mampu mencapai kesadaran ini akan berbudi luhur berakhlak mulia.
Kesatuan Kosmis, dalam kesatuan ini rasa diri manusia lebur, karena sudah ditekan oleh kesatuan alam atau jiwa alam. Dalam tahap kesatuan kosmis, kesadaran diri manusia sebagai bagian kosmis (mikrokosmos) telah menyatu dengan makrokosmos (alam semesta). Kesadaran terhadap kosmis ini akan melahirkan perilaku damai, cinta kasih terhadap semua makhluk, ramah terhadap lingkungan, menjaga keselarasan alam. Sikap kesadaran kosmis orang Jawa ini mewarnai pola pikir dan tindakannya, sehingga melahirkan kepercayaan atau keyakinan bahwa salah satu tugas manusia hidup di dunia adalah “memayu hayuning bawana” (menjaga keselarasan alam).
Kesatuan yang bersifat Pantheistis, kesatuan ini sebenarnya sama seperti dengan kesatuan kosmis, hanya saja jiwa kosmis diganti dengan istilah Tuhan. Dalam kesatuan ini terbentuklah apa yang dinamakan dengan manuggaling kawula-Gusti. Manusia penempuh jalan mistik jika mampu mencapai kesadran pantheistis ini, merasa begitu dekat, begitu akrab dengan dengan Tuhan, bahkan merasa bahwa Tuhan telah menyatu dengannya. Menyatu dalam arti ruhani, sehingga setiap ucapan dan perilaku yang nampak ke permukaan adalah cerminan dari sifat dan kehendak Tuhan itu sendiri.
c.       Partisipasi dengan daya ghaib
Manusia apabila mampu melewati beberapa anak tangga msitik tersebut, maka ia akan memperoleh daya ghaib yang luar biasa (okultis). Daya ghaib diperoleh manusia sebagai bukti, jika ia telah mampu berhubungan atau bahkan bersatu dengan kosmis, dengan Tuhan. Melalui kekuatan daya ghaib tersebut manusia dapat melakukan hal-hal luar biasa yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa, untuk mengatasi permasalahan hidup (alam materi). Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para penempuh jalan mistik tersebut dapat berupa kemampuan menyembuhkan penyakit, mengusir jin atau setan yang mengganggu, memberi berkah, bahkan mengetahui hal-hal yang belum terjadi (weruh sadurunge winarah).
Itulah spektrum luas dari anak tangga yang harus dijalankan oleh penempuh jalan mistik (kebatinan). Adakalanya penempuh jalan mistik itu sampai akhir, ada pula yang mencukupkan pada anak tangga pertama atau kedua saja.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sahidah, “Pandangan Robert N. Bellah Tentang Agama Sipil (Telaah Agama Di AMerika Serikat)”, Thesis, Program Studi Agama Dan Filsafat Pascasarjana UIN (2003)
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : PT. Hindita Graha Widya, 2000
H. M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal; Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, Vol. II, No. 2, Juli 2003
K. J. Veeger, Ilmu Budaya Dasar; Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1990
Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000
Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kebatinan, Kerohanian, kejiwaan, Cet. XI, Yogyakarta : Kanisius, 1995
Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang : Rasail Media Group, 2008
Simuh, Sufisme Jawa-Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta : Bentang, 2002
Warsito, Disekitar Kebatinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1973




[1] Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000), hal. 15-18
[2] K. J. Veeger, Ilmu Budaya Dasar; Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 5-7
[3] Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta : PT. Hindita Graha Widya, 2000), hal. 7
[4] Ahmad Sahidah, “Pandangan Robert N. Bellah Tentang Agama Sipil (Telaah Agama Di AMerika Serikat)”, Thesis, Program Studi Agama Dan Filsafat Pascasarjana UIN (2003), hal. 26.
[5] Agama berfungsi mengajar dan membimbing manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, termasuk masalah makna dan tujuan hidup manusia.
[6] Agama berfungsi memberikan kebutuhan manusia akan keselamatan dan kebahagiaan di kehidupan sekarang maupun sesudah mati, melalui ajaran-ajaran agamanya. Sangat manusiawi sekali jika manusia pada tahap tertentu mendambakan kebahagiaan, dimana kebahagiaan itu hanya dapat terpenuhi melalui agama.
[7] Agama juga ikut berperan sebagai pengontrol jalannya tata susila atau norma-norma dalam masyarakat. Disini agama akan member nilai pada suatu perbuatan individu atau klompok dalam masyarakat.
[8] Agama berperan menumbuhkan nilai solidaritas atau persaudaraan dalam suatu agama. Meskipun dalam dataran realitas  hal ini akan menimbulkan dampak positif dan negative. Dampak positifnya, solidaritas dalam suatu kelompok akan sangat kuat. Sementara dampak negatifnya, sikap eksklusivisme yang sering kali melihat sebelah mata pada kelompok lain.
[9] Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal; Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, Vol. II, No. 2, Juli 2003, hal. 137-138.
[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 660
[11] H. M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hal. 65
[12] Warsito, Disekitar Kebatinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hal. 19
[13] H. M. Rasjidi, Islam…, hal. 65
[14] Ibid., hal. 53
[15] Ibid., hal. 53
[16] Simuh, Sufisme Jawa-Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. (Yogyakarta : Bentang, 2002), hal.289
[17] Samidi Khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa, (Semarang : Rasail Media Group, 2008), hal. 27
[18] Simuh, Sufisme…, hal.289
[19] H. M. Rasjidi, Islam…, hal. 53
[20] Simuh, Sufisme.., hal.218
[21] Ibid., hal. 229
[22] Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kebatinan, Kerohanian, kejiwaan, Cet. XI, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hal. 43
[23] Ibid., hal. 257

1 comment:

  1. KISAH CERITA AYAH SAYA SEMBUH BERKAT BANTUAN ABAH HJ MALIK IBRAHIM

    Assalamualaikum saya atas nama Rany anak dari bapak Bambang saya ingin berbagi cerita masalah penyakit yang di derita ayah saya, ayah saya sudah 5 tahun menderita penyakit aneh yang tidak masuk akal, bahkan ayah saya tidak aktif kerja selama 5 tahun gara gara penyakit yang di deritanya, singkat cerita suatu hari waktu itu saya bermain di rmh temen saya dan kebetulan saya ada waktu itu di saat proses pengobatan ibu temen saya lewat HP , percaya nda percaya subahana lah di hari itu juga mama temen saya langsung berjalan yang dulu'nya cuma duduk di kursi rodah selama 3 tahun,singkat cerita semua orang yang waktu itu menyaksikan pengobatan bapak kyai hj Malik lewat ponsel, betul betul kaget karena mama temen saya langsung berjalan setelah di sampaikan kepada hj Malik untuk berjalan,subahanallah, dan saya juga memberanikan diri meminta no hp bapak kyai hj malik, dan sesampainya saya di rmh saya juga memberanikan diri untuk menghubungi kyai hj Malik dan menyampaikan penyakit yang di derita ayah saya, dan setelah saya melakukan apa yang di perintahkan sama BPK kyai hj Malik, 1 jam kemudian Alhamdulillah bapak saya juga langsung sembuh dari penyakitnya lewat doa bapak kyai hj Malik kepada Allah subahanallah wataala ,Alhamdulillah berkat bantuan bpk ustad kyai hj Malik sekarang ayah saya sudah sembuh dari penyakit yang di deritanya selama 5 tahun, bagi saudara/i yang mau di bantu penyembuhan masalah penyakit gaib non gaib anda bisa konsultasi langsung kepada bapak kyai hj Malik no hp WA beliau 0823-5240-6469 semoga lewat bantuan beliau anda bisa terbebas dari penyakit anda. Terima kasih

    ReplyDelete