Latar belakang berdirinya tarekat syattariyah di pondok
pesantren al-ihya ulumaddin kesugihan cilacap
Pondok
Pesantren al-Ihya ‘Ulumaddin berlokasi di Desa Kesugihan Kidul, Kecamatan
Kesugihan Kabupaten Cilacap, di atas areal tanah seluas 4 Ha. Kehadiran Pondok
Pesantren ini dilandasi dengan semangat keagamaan untuk berdakwah yang
bertujuan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang ditindas oleh penjajah
Belanda pada saat itu. Tepatnya 24 November 1925/1344 H, seorang tokoh ulama
bernama KH. Badawi Hanafi mendirikan pondok pesantren di desa Kesugihan, ia
memanfaatkan musalla peninggalan ayahnya, yakni KH. Fadil untuk mengawali
perintisan pesantren. Musalla atau langgar tersebut dikenal
dengan nama “Langgar Duwur”[1].
Pada awalnya pondok pesantren ini dikenal dengan nama “Pondok Pesantren
Kesugihan”. Pada tahun 1961, pondok pesantren ini berubah nama menjadi Pendidikan
dan Pengajaran Agama Islam (PPAI); kemudian tahun 1983, namanya dirubah menjadi
“Pondok Pesantren al-Ihya ‘Ulumaddin”. Perubahan nama dilakukan oleh KH.
Mustolih Badawi, Putra KH. Badawi Hanafi. Perubahan itu dilakukan untuk
mengenang al-Marhum ayahnya yang sangat mengagumi karya monumental Imam
al-Gazali, yakni kitab Ih}ya’ 'Ulumiddin, tentang pembaharuan Islam. PP.
al-Ihya ‘Ulumaddin, secara ekonomi berada pada masyarakat plural
(beragam) yang terdiri dari nelayan, pedagang, petani, wiraswasta, dan
pegawai negeri. Dari segi geografis
lokasi pesantren dekat dengan pusat kota Cilacap. Kondisi ini sedikit banyak
mempengaruhi proses perkembangan pesantren dalam upaya menjaga dan melestarikan
nilai-nilai luhur tradisi keagamaan. Keseimbangan tersebut dapat tercipta
karena masih adanya pengaruh karismatik para Kyai di wilayah Kesugihan, yang
kemudian identik dengan kota santri. Letak geografis semacam itu, memberikan
inspirasi PP. al-Ihya ‘Ulumaddin dalam ikut memberdayakan masyarakat sekitar,
cenderung menggunakan pendekatan agraris dan kelautan. Hal ini dimaksudkan agar
kehadiran pesantren lebih nyata dalam memainkan peran sebagai agen perubahan (agent
of change)
Adapun tarekat syattariyah lahir dikota cilacap tepatnya
di pondok pesantren al-ihya ulumaddin dusun pelatar kecamatan kesugihan
kabupaten cilacap, yang dibawa langsung oleh beliau KH.Badawi hanafi pada tahun
1930 tepatnya setelah beliau pulang dari mekah beliau mengajarkan ajaran
tarekat syattariyah tersebut sampai diujung usia.tepatnya pada tanggal, 17
april 1937
Ajaran tarekat syattariyah
Sebagai
gerakan ekspansi keagamaan, tarekat syattariyah pada
periode ini lebih diarahkan pada perjuangan untuk meningkatkan nilai morral dan
sepiritual melalui penyebaran ber bagai ajaran agama islam dalam upayanya ini,
syeh’adb allah al- syattar beserta para pengikutnya mengembangkan kecenderungan
untuk ber adaptasi atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat
setempat yang masih banyak dipengaruhi ajaran hindu. Memang, disatu sisi sikap
akomodatif para penganut tarekat ini lebih mudah mencari perhatian non muslim
untuk memeluk ajaran islam, dan hal ini dianggap menjadi kunci berkembangnya
ajaran tarekat. Akan tetapi, disisi lain, hal ini juga mengakibatkan banyaknya
konsep-konsep tasawuf dan ritual tarekat yang bersifat singkretis serta
memiliki persamaan dengan konsep- konsep ritual hindu.[2]
Pada hakekatnya tarekat merupakan upaya
penyucian jiwa karena tarekat merupakan jalan untuk menuju allah, karena
tarekat merupakan jalan dari syariat menuju hakekat guna mendapat ma;rifat.kata
tarekat berasal dari bahasa arab yang artinya adalah”jalan”.dalam ilmu tasawuf
tarekat dimaksudkan sebagai jalan yang harus di tempuh seseorang (dengan mengadakan taqqi,pendakian)
untuk sampai tingkat melihat tuhan (Allah).dengan
mata hati dan ahirnya bersatu dengan tuhan. Upaya tersebut bisa bertahun-tahun
dan harus menempuh jalan yang sulit,dengan semata-mata mengharap ridho Allah. [3]
[1] Dikenal
langgar duwur karena Mus}alla (langgar dalam bahasa jawa) tersebut
menggunakan konstruksi panggung.
[2]
Sri mulyani.”mengenaldan memahami
tarekat- tarekat muktabaroh di indonesia di indonesia” (jakarta,kencana
2005),hal,144-145.
[3]
Muhammad solikhin,”tasawuf
aktual”(semarang, pustaka NUUN),hal,118.
No comments:
Post a Comment