Sejarah berdirinya tarekat
syatarriyah
Tarekat
Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad
ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.Awalnya tarekat ini lebih dikenal di
Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah
Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah.Kedua nama ini diturunkan dari
nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya
sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu
tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam
keyakinan dan praktik.
Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia
adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di
salah satu tempaat di sekitar Bukhara. Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi
menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh gurunya, Muhammad Arif. [1]
Nisbah
asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya
yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir
nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan
pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian
membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah
(Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat
pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga istilah ini,
dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattariyah
ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan
zat, sifat, dan af’al diri (wujud jiwa raga). [2]
Namun
karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya,
dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat Naksyabandiyah,
Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal
di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa
(Multan). Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan
tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang
dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin
mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas
inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan
oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A’la, sang Bengali, yang dikenal sebagai
Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan
menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah
Muhammad Ghaus dari Gwalior (w.1562), keturunan keempat dari sang pendiri.
Muhammad Ghaus mendirikan Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan
praktik-praktik yoga. Salah seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali
besar yang sangat dihormati di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang
produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16,
tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini
Tarekat Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke
Indonesia. Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke
Tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606),
salah seorang murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini
tidak saja mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya,
sebutlah misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan
dan dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad
Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian
tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina,
Ahmad al-Qusyasyi (w.1661). Setelah Ahmad al-Qusyasyi
meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal Turki, tampil menggantikannya
sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal
di wilayah Madinah. Dua orang yang disebut terakhir di atas,
Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel
yang kemudian berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun
sebelum Abdul Rauf. Telah ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung
jawab terhadap ajaran Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya
Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang
wahdat al-wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga
salah seorang murid Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan
metafisika martabat tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu
Arabi sendiri. Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai
gagasan menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah,
sehingga kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi
dan Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya yang
diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh
Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun
tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin
menganut tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat
Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang kembali dari
Tanah Arab. Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai
sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan
untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643.
Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh
agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke
Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar
wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya.
Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh
Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai
Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar
ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewa[3]
Selatan
disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan
juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Martin
menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan
Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini,
lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi
setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara berbagai
tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan
metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran
martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa. Ajaran dan Dzikir
Tarekat Syattariyah Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan
untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT
di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat
Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk.
Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang
ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai
pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada
tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta
menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus
dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal,
qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.
No comments:
Post a Comment