“Katakanlah” – Hai Utusan-Ku- “Dia adalah Allah, Maha Esa.”
(ayat 1). Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari kepercayaan. Mengakui bahwa
yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah nama dari Satu saja. Tidak
ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa, tunggal, tidak bersekutu yang
lain dengan Dia.
Pengakuan atas Kesatuan, atau Keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan
dan nama-Nya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai TAUHID. Berarti
menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu
lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sihat
dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU.
Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan
tidak pula ada teman hidup-Nya. Karena mustahillah kalau Dia lebih dari satu.
Karena kalau Dia berbilang, terbahagilah kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang terbagi,
artinya sama-sama kurang berkuasa.
“Allah adalah pergantungan.” (ayat 2). Artinya, bahwa segala
sesuatu ini adalah Dia yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu
kepada-Nyalah bergantung. Ada atas kehendak-Nya.
Kata
Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah
segala sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya,
sedang Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun.
Husain bin Fadhal mengartikan: “Dia berbuat apa yang Dia mau dan
menetapkan apa yang Dia kehendaki.”
Muqatil mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada
cacat-Nya.”
“Tidak Dia beranak, dan tidak Dia diperanakkan.” (ayat 3).
Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak hanyalah makhluk
bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan hidupnya. Seseorang
yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia tidak mendapat anak keturunan.
Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan bersambung. Orang yang tidak
beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga itu. Tetapi seseorang yang
hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu, besarlah hatinya, karena
meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mustahil
memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus, tidak akan pernah mati-mati.
Dahulunya tidak berpemulaan dan akhirnya tidak berkesudahan. Dia hidup terus
dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak yang akan melanjutkan atau
menyambung kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu, tidak pula diperanakkan. Tegasnya tidaklah
Dia berbapa. Karena kalau dia berbapa, teranglah bahwa si anak kemudian lahir
ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah itu pun mati. Si anak menyambung
kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu beranak dan
anak itu ialah Nabi Isa Almasih, yang menurut susunan kepercayaan mereka sama
dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir yang tidak berkesudahan di antara sang
bapa dengan sang anak, maka bersamaanlah wujud di antara si ayah dengan si
anak, sehingga tidak perlu ada yang bernama bapa dan ada pula yang bernama
anak. Dan kalau anak itu kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu kekuasaan
atau ketuhanan yang tidak perlu, kalau diakui bahwa si bapa kekal dan tidak mati-mati,
sedang si anak tiba kemudian.
“Dan tidak ada bagi-Nya yang setara, seorang jua pun.” (ayat 4).
Keterangan: Kalau diakui Dia beranak, tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu
tua. Dia memerlukan anak untuk menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah itu pada mulanya masih
muda yaitu sebelum bapa-Nya mati. Kalau diakui bahwa Dia terbilang, ada bapa
ada anak, tetapi kedudukannya sama, fikiran sihat yang mana jua pun akan
mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama kurang kekuasaannya. Kalau ada dua
yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama kekuasaannya atas alam,
tidak ada fikiran sihat yang akan dapat menerima kalau dikatakan bahwa keduanya
itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya, yang berarti sama-sama
kurang kuasa-Nya, yakni masing-masing mendapat separuh, maka tidaklah ada yang
sempurna ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah tuhan. Itu masih alam,
itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah Mutlak Kuasa-Nya, tiada berbagi, tiada
separuh seorang, tiada gandingan, tiada bandingan dan ada tiada tandingan. Dan
tidak pula ada tuhan yang nganggur, belum bertugas sebab bapanya masih ada!
Itulah yang diterima oleh perasaan yang bersih murni. Itulah
yang dirasakan oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak demikian, kacaulah dia
dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini dinamai pula Surat
Al-Ikhlas, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan logika, dengan
berfikir teratur.
Tersebutlah
di dalam beberapa riwayat yang dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat
ini turun: “Shif lanaa
rabaka” ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta kepada Nabi
(Coba jelaskan kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga
atau loyangkah?).
Menurut Hadis yang dirawikan oleh Termidzi dari Ubay bin Ka’ab,
memang ada orang musyrikin meminta kepada Nabi supaya diuraikannya nasab
(keturunan atau sejarah) Tuhannya itu. Maka datanglah Surat yang tegas ini
tentang Tuhan.
Abus Su’ud berkata dalam tafsirnya: “Diulangi nama Allah sampai
dua kali (ayat 1 dan ayat 2) dengan kejelasan bahwa Dia adalah Esa, Tunggal,
Dia adalah penggantungan segala makhluk, supaya jelaslah bahwa yang tidak
mempunyai kedua sifat pokok itu bukanlah Tuhan. Di ayat pertama ditegaskan
Keesaan-Nya, untuk menjelaskan bersih-Nya Allah dari berbilang dan bersusun,
dan dengan sifat Kesempurnaan Dia tempat bergantung, tempat berlindung; bukan
Dia yang mencari perlindungan kepada yang lain, Dia tetap ada dan kekal dalam
kesempurnaan-Nya, tidak pernah berkurang. Dengan penegasan “Tidak beranak”,
ditolaklah kepercayaan setengah manusi bahwa malaikat itu adalah anak Allah
atau Isa Almasih adalah anak Allah. Tegasnya dari Allah itu tidak ada timbul
apa yang dinamai anak, karena tidak ada sesuatu pun yang mendekati jenis Allah
itu, untuk jadi jodoh dan “teman hidupnya”, yang dari pergaulan berdua
timbullah anak.” – Sekian Abus Su’ud.
Imam
Ghazali menulis di dalam kitabnya “Jawahirul-Qur’an” : “Kepentingan Al-Qur’an
itu ialah untuk ma’rifat terhadap Allah dan ma’rifat terhadap hari akhirat dan
ma’rifat terhadap Ash-Shirathal
Mustaqim. Ketiga ma’rifat inilah yang sangat utama pentingnya.
Adapun yang lain adalah pengiring-pengiring dari yang tiga ini. Maka Surat
Al-Ikhlas adalah mengandung satu daripada ma’rifat yang tiga ini, yaitu
Ma’rifatullah, dengan memberishkan-Nya, mensucikan fikiran terhadap-Nya dengan
mentauhidkan-Nya daripada jenis dan macam. Itulah yang dimaksud bahwa Allah
bukanlah pula bapa yang menghendaki anak, laksana pohon. Dan bukan
diperanakkan, laksana dahan yang berasal dari pohon, dan bukan pula mempunyai
tandingan, bandingan dan gandingan.”
Ibnul Qayyim menulis dalam Zaadul Ma’ad: “Nabi SAW selalu
membaca pada sembahyang Sunnat Al-Fajar dan sembahyang Al-Witir kedua Surat
Al-Ikhlas dan Al-Kaafiruun. Karena kedua Surat itu mengumpulkan Tauhid, Ilmu
dan Amal, Tauhid Ma’rifat dan Iradat, Tauhid I’tiqad dan Tujuan. Surat
Al-Ikhlas mengandungi Tauhid I’tiqad dan Ma’rifat dan apa yang wajib dipandang
tetap teguh pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa, Tunggal. Naf’i yang
mutlak daripada bersyarikat dan bersekutu, dari segi mana pun. Dia adalah
Pergantungan yang tetap, yang pada-Nya terkumpul segala sifat kesempurnaan,
tidak pernah berkekurangan dari segi mana pun. Naf’i daripada beranak dan
diperanakkan, karena kalau keduanya itu ada, Dia tidak jadi pergantungan lagi
dan Keesaan-Nya tidak bersih lagi. Dan Naf’i atau tidaknya kufu’, tandingan,
bandingan dan gandingan adalah menafikan perserupaan, perumpamaan ataupun
pandangan lain. Sebab itu makna Surat ini mengandung segala kesempurnaan bagi
Allah dan menafikan segala kekuarangan. Inilah dia Pokok Tauhid menurut ilmiah
dan menurut akidah, yang melepaskan orang yang berpegang teguh kepadanya
daripada kesesatan dan mempersekutukan.
Itu sebab maka Surat Al-Ikhlas dikatakan oleh Nabi Sepertiga
Qur’an. Sebab Al-Qur’an berisi Berita (Khabar) dan Insyaa. Dan Insyaa
mengandung salah satu tiga pokok: (1) perintah, (2) larangan, (3) boleh atau
diizinkan. Dan Khabar dua pula: (1) Khabar yang datang dari Allah sebagai
Pencipta (Khaliq) dengan nama-nama-Nya dan hukum-hukum-Nya. (2) Khabar dari
makhluk-Nya, maka diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat Al-Ikhlas tentang
nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, sehingga jadilah isinya itu mengandung
Sepertiga Al-Qur’an. Dan dibersihkannya pula barangsiapa yang membacanya dengan
Iman, daripada mempersekutukan Allah secara ilmiah. Sebagaimana Surat
Al-Kaafiruun pun telah membersihkan dari syirik secara amali, yang timbul dari
kehendak dan kesengajaan.” – Sekian Ibnul Qayyim.
Ibnul Qayyim menyambung lagi: “Menegakkan akidah ialah dengan
ilmu. Persediaan ilmu hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu itu adalah Imam,
penunjuk jalan, dan hakim yang memberikan keputusan di mana tempatnya dan telah
sampai di mana. Maka “Qul Huwallaahu Ahad” adalah puncak ilmu tentang akidah.
Itu seba maka Nabi mengatakannya sepertiga Al-Qur’an. Hadis-hadis yang
mengatakan demikian boleh dikatakan mencapai derajat mutawatir. Dan “Qul Yaa
Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat Al-Qur’an. Dalam sebuah
Hadis dari Termidzi, yang dirawikan dari Ibnu Abbas dijelaskan: “Idzaa
Zulzilatil Ardhu” sama nilainya dengan separuh Al-Qur’an. “Qul Huwallahu Ahad”
sama dengan sepertiga Al-Qur’an dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya
dengan seperempat Al-Qur’an.
Al-Hakim merawikan juga Hadis ini dalam Al-Mustadriknya dan
beliau berkata bahwa Isnad Hadis ini shahih.
***
Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Bukhari
dari Aisyah, – moga-moga Allah meridhainya – bahwa Nabi SAW pada satu waktu
telah mengirim siryah (patroli) ke suatu tempat. Pemimpin patroli itu tiap-tiap
sembahyang yang menjahar menutupnya dengan membaca “Qul Huwallaahu Ahad.”
Setelah mereka kembali pulang, mereka khabarkanlah perbuatan pimpinan mereka
itu kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW berkata: “Tanyakan kepadanya apa sebab dia
lakukan demikian.” Lalu mereka pun bertanya kepadanya, (mengapa selalu ditutup
dengan membaca “Qul Huwallaahu Ahad”).
Dia menjawab: “Itu adalah sifat dari Tuhan Yang Bersifat
Ar-Rahman, dan saya amat senang membacanya.”
Mendengar keterangan itu bersabdalah Nabi SAW: “Katakanlah
kepadanya bahwa Allah pun senang kepadanya.”
Dan terdapatlah juga beberapa sabda Rasul yang lain tentang
kelebihan Surat Al-Ikhlas ini. Banyak pula Hadis-hadis menerangkan pahala
membacanya. Bahkan ada sebuah Hadis yang diterima dari Ubay dan Anas bahwa Nabi
SAW pernah bersabda:
“Diasaskan
tujuh petala langit dan tujuh petala bumi atas Qul Huwallaahu Ahad.”
Betapa pun derajat Hadis ini, namun maknanya memang tepat.
Al-Imam Az-Zamakhsyari di dalam Tafsirnya memberi arti Hadis ini: “Yaitu
tidaklah semuanya itu dijadikan melainkan untuk menjadi bukti atas mentauhidkan
Allah dan mengetahui sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Surat ini.”
Diriwayatkan oleh Termidzi dari Abu Hurairah, berkata dia: “Aku datang
bersama Nabi SAW tiba-tiba beliau dengar seseorang membaca “Qul Huwallaahu
Ahad”. Maka berkatalah beliau SAW: “Wajabat” (Wajiblah). Lalu aku bertanya:
“Wajib apa ya Rasul Allah?” Beliau menjawab: “Wajib orang itu masuk syurga.”
Kata Termidzi Hadis itu Hasan (bagus) dan shahih.
No comments:
Post a Comment