A.
Amaliah atau ajaran didalam tarekat
syatarriyah
Sebagaimana
halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam
ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode
berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan
kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat
dan puasa, membaca al-Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar
menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang
keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu
mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung
dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan
yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh
macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam
Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia.
Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan
sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam
dzikir itu sebagai berikut:
1.
Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan
memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa
ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu
mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya
kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2. Dzikir
nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan
suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan
seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3. Dzikir
itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang
dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4. Dzikir
Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah
dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan
manusia.
5. Dzikir
Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada
dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini
dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6. Dzikir
Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait
al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar
seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya
Ilahi.
7. Dzikir
Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan
kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT
di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di
atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah
terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”. Adapun
ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1. Nafsu
Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut: Senang berlebihan,
hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak
mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu
Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan,
acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu
Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan.
Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut,
tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4. Nafsu
Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri.
Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan
takut kepada Allah SWT.
5. Nafsu
Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah,
dan menepati janji.
6. Nafsu
Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia,
bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7.
Nafsu Kamilah, letaknya di
kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan
haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’
al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni,
a) menyebut
nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar,
al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain;
b) menyebut
nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik,
al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain; dan
c) menyebut
nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti
al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan,
sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus
menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam
berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan
realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam
tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui
bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual
ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua
realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia
pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam
tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak
dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak
putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan
seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan
memiliki empat martabat yaknimursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun
(mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan
menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat
menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan
yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar;
rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau
syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri
dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih;
menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri;
makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari
melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati
dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang
terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan
memakai pakaian berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah Sebagaimana
tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya
yang bersambungan sampai kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini
meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi
Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr,
tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl
adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian
seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu
didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas
dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah
jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi
pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib. [1]
Assalamu'alaikm Mas Miftah, mas apakah di cilacap masih ada komunitas Syattariyah, di cilacap? , apakah ada jga gru wasilah di cilacap?. suwun. Wassalamu;alaikm Warohmatullahiwabarokatuh.
ReplyDelete